Hai semuanya ^^
Udah lama banget nggak
posting...
Kali ini aku mau
melanjutkan cerpenku yang sebelumnya. Kebetulan dapet ide buat lanjutin cerita
ini & pengen banget bikin sequel-nya.
Happy reading! ^^
************************************
Chelsea duduk di ayunan sebuah taman sembari memandang jam tangan
pink-nya berkali-kali. Sudah 20 menit dia menunggu, tapi Bagas belum datang
juga. Wajahnya sudah kusut seperti pakaian yang belum diseterika.
Bagas memang tidak berubah. Suka banget ngaret dan hal itu membuat
Chelsea sebal. Alasannya bermacam-macam. Mulai dari macet, kesiangan,
ketiduran, motor mogok, dan… yang lebih parah lagi adalah LUPA! Bisa-bisanya
dia lupa ada janji sama pacarnya?
Mungkin kali ini kesabaran Chelsea sudah habis. Dia akan
menghitung mundur dari sepuluh sampai satu dalam hati. Kalau Bagas tetap tidak
muncul, dia memutuskan untuk pulang saja.
Sepuluh… sembilan… delapan… tujuh… enam… lima.. empat… tiga… dua…
saaa…
Tiba-tiba saja ada yang menutup mata Chelsea dari belakang.
Chelsea tersentak kaget dan hendak berteriak. Tapi setelah tercium aroma parfum
yang sangat dikenalnya, Chelsea sudah bisa menebak kalau orang itu adalah
Bagas.
“Bagas…? Udah deh, nggak usah bercanda! Gue lagi ngambek sama lo,
tau!” kata Chelsea kesal.
Orang itu melepaskan tangannya dan berjalan ke hadapan Chelsea.
Yup, benar tebakan Chelsea. Orang itu adalah Bagas. Bagas tersenyum manis tanpa
menunjukkan perasaan bersalahnya sedikit pun.
Chelsea terperangah. Nih cowok punya perasaan atau nggak sih?
Chelsea sudah menunggunya hampir setengah jam, tapi sepertinya tidak ada raut
penyesalan dari wajah cowok itu.
“Jangan ngambek! Gue kan udah sering bilang, kalo lo ngambek, muka
lo kayak bebek, tau?” Bagas tertawa kecil.
"Gue ngambek juga gara-gara lo! Tapi lo nggak ngerasa
bersalah gitu!" Chelsea melipat kedua tangannya di depan dada.
"Sekarang alasannya apa lagi? Macet? Ketiduran? Atau lupa lagi? Basi,
tau!" Chelsea makin merengut.
Bagas menghela napas, lalu duduk berlutut di depan Chelsea.
"Maafin gue ya, sayang...," ucapnya sembari meraih kedua tangan
Chelsea dan menggenggamnya lembut.
Tidak ada jawaban dari Chelsea. Menunggu apa yang akan dikatakan
Bagas selanjutnya.
Bagas mengambil sesuatu dari saku celananya. Setangkai mawar
merah. "Buat lo." Bagas memberikan bunga itu pada Chelsea.
Chelsea memutar bola matanya. Selalu saja begitu! Bagas suka
nyogok pakai sesuatu kalau dia berbuat salah. Tujuannya agar Chelsea
memaafkannya.
"Gue nggak suka bunga. Bunga cepat layu, tau?" sahut
Chelsea.
Bagas mengambil sesuatu lagi dari saku celananya. Sebuah cokelat.
Wah... saku celana Bagas sudah seperti kantong ajaibnya Doraemon saja.
"Kalo yang ini gimana?" Bagas menunjukkan cokelat itu.
"Memangnya gue anak kecil yang bisa disogok pake
cokelat?"
"Masih nggak mau maafin gue?"
"Nggak."
Tiba-tiba... cup! Bagas mengecup pipi Chelsea singkat. Chelsea
terperangah dan refleks memegangi pipinya. Dia tidak menyangka kalau Bagas akan
menciumnya.
"Masih ngambek, nggak?" tanya Bagas sambil tersenyum
jail.
"Bagaaassss... apaan sih?? Cari kesempatan aja! Nyebelin!
Nyebelin! Nyebelin!" Chelsea memukul-mukul dada Bagas.
"Aduuuh... iya, ampun, ampun...!" Bagas mencoba
menghindari serangan Chelsea.
Chelsea baru berhenti saat Bagas menahan tangannya.
"Pilih maafin gue atau pilih gue cium lagi?"
Chelsea mengerucutkan bibirnya. Dasar Bagas nggak mau kalah! Kedua
pilihan itu jelas menguntungkan Bagas semua.
"Gue maafin lo," jawab Chelsea setengah hati.
Bagas tersenyum senang. "Nah... gitu dong dari tadi! Makasih,
sayang...," ucapnya sambil mengusap-usap lembut puncak kepala Chelsea.
Chelsea balas tersenyum. Perlakuan Bagas yang seperti inilah yang
membuat hati Chelsea luluh. Makanya Chelsea nggak pernah bisa ngambek lama-lama
sama Bagas.
Bagas berdiri dan duduk di ayunan lain, tepat di sebelah Chelsea.
"Tadi lo belum jawab pertanyaan gue," ucap Chelsea.
"Pertanyaan yang mana?" tanya Bagas bingung.
"Kenapa ngaret lagi?"
"Habis nganter Jihan, adiknya Difa, ke rumah sakit. Tadi Difa
telepon gue, dia panik banget. Soalnya kedua orang tuanya lagi di luar
kota," jelas Bagas.
"Sakit apa? Terus kenapa lo nggak ngabarin gue? Kalo lo
ngabarin gue, kan gue jadi nggak marah-marah sama lo."
"Cuma demam aja kok. Namanya juga orang panik, jadi ya... gue
nggak inget hubungin lo," jelas Bagas lagi. "Udah, jangan ngambek
lagi! Sekarang... mau ke mana, Tuan Putri? Saya siap mengantar Tuan Putri ke
mana saja." Bagas tersenyum.
"Gue mau makan," rengek Chelsea manja.
Bagas tersenyum. "Ya udah, mau makan apa?"
Chelsea berpikir sambil melihat-lihat sekitarnya. "Mmm... gue
mau... makan siomay, makan ice cream, makan gado-gado, sama es campur,"
jawab Chelsea setelah melihat pegadang makanan di sekelilingnya.
Bagas membelalakkan matanya. "Hah? Nggak salah? Sebanyak
itu??" tanya Bagas tak percaya.
"Gue kan lapar gara-gara nungguin lo kelamaan."
"Iya, iya... ya udah, ayo kita makan ice cream dulu!
Biar lo adem, nggak marah-marah mulu," Bagas menggandeng tangan Chelsea
menuju penjual ice cream.
"Gue kan marah-marah gara-gara lo!" Chelsea masih saja
menggerutu.
Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Bagas beranjak dari
bangkunya.
"Heh, mau ke mana lo?" tanya Difa.
"Mau ke kelas yayang gue. Kangen gue sama dia," jawab
Bagas sambil nyengir kuda.
"Habis ini pelajarannya Pak Naga, kan? Kita mau ada ulangan
lho." Difa memperingatkan.
"Gue ikut susulan aja," jawab Bagas seenaknya sambil
berlalu pergi.
Kontan membuat Difa, Gilang, dan Josia melongo.
"Udah nggak waras tuh anak!" ceplos Josia.
"Iya, bener. Sejak pacaran sama Chelsea, gue sering liat dia
senyum-senyum sendiri," timpal Gilang.
"Tapi kali ini dia serius kok,” ucap Difa mantap. “Nggak
kayak cewek-cewek sebelumnya yang cuma buat mainan aja,” lanjutnya.
“Ya bagus lah kalo gitu, jadinya dia nggak gonta-ganti cewek
lagi,” sahut Gilang.
“Cinta memang bisa merubah segalanya,” ucap Josia sambil
geleng-geleng kepala.
***
Bagas berjalan melewati koridor menuju kelas Chelsea. Saat sampai
di depan kelas Chelsea, Bagas berhenti tepat di depan pintu kelas. Begitu
melihat Chelsea, senyum terukir di wajah Bagas. Chelsea tampak sedang serius
memperhatikan penjelasan Bu Winda, guru Matematika sekaligus wali di kelas
Chelsea.
Bagas memutar otaknya, mencari cara untuk mengalihkan perhatian
Chelsea. Akhirnya Bagas memilih berjalan mondar-mandir di depan pintu kelas
Chelsea, dengan tujuan agar Chelsea melihatnya. Tapi sayangnya perhatian
Chelsea tetap tertuju pada Bu Winda. Melirik saja tidak.
“Chelsea sayaaang…,” panggil Bagas pelan. Rupanya dia sudah
menyerah karena Chelsea tidak juga meliriknya.
Samar-samar Chelsea mendengar ada yang memanggil namanya.
Kebetulan meja Chelsea tak jauh dari pintu kelas. Sontak Chelsea menoleh ke
arah sumber suara. Matanya membulat saat melihat Bagas sudah berdiri di depan
kelas. Bagas tersenyum sambil mengedipkan matanya menggoda Chelsea. Chelsea
memandang sekelilingnya. Beberapa anak lain terlihat berusaha menahan tawanya karena
tingkah Bagas.
Chelsea menunduk malu. 'Ya ampuuun... ngapain sih Bagas ke kelas
gue pas jam pelajaran? Malu-maluin aja! Kalo ketauan Bu Winda bisa gawat!'
batin Chelsea.
Chelsea melirik Bagas lagi. Bagas menggoda Chelsea lagi. Bagas
mengerucutkan bibirnya, sebagai isyarat kalau dia sedang mencium Chelsea.
Anak-anak lain mulai cekikikan melihatnya.
Angel menyenggol lengan Chelsea. Chelsea kaget dan menoleh.
"Kok lo bisa pacaran sama orang gila kayak dia sih?"
bisik Angel.
Chelsea tidak menjawab. Dia sedang berusaha menahan rasa malunya
akibat tingkah Bagas.
Bu Winda yang merasakan kalau sebagian perhatian muridnya tidak
tertuju padanya, mulai mencari sumber penyebabnya. Bu Winda mengikuti arah
pandangan beberapa muridnya yang tertuju pada pintu kelas. Dan benar ada Bagas,
si trouble maker sekolah di sana.
Bu Winda berjalan mendekati Bagas dengar wajah sangarnya.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Bu Winda tajam.
Chelsea menepuk keningnya. 'Aduh!' batinnya.
Bagas nyengir kuda. "Saya mau ketemu pacar saya, Bu. Saya
kangen sama dia." jawab Bagas seenaknya.
Chelsea terperangah mendengar jawaban Bagas. Kenapa Bagas bisa
senekat itu? Seisi kelas pun tertawa mendengar jawabannya.
"Kamu tahu kalau ini masih jam pelajaran, kan? Kenapa kamu
tidak mengikuti pelajaran?" tanya Bu Winda galak.
"Saya kan tadi udah bilang, saya mau ketemu sama pacar saya,
Bu. Boleh ya, Bu Winda cantik?" tanya Bagas dengan nada menggoda.
Bu Winda melotot galak. Wajahnya semakin sangar saja. Tapi Bagas
tidak ada takut-takutnya. Dia malah cengar-cengir tidak jelas.
Sepertinya kesabaran Bu Winda sudah habis. Beliau langsung saja
menjewer telinga Bagas tanpa ampun.
"Aduh... ampun, Buuu! Ampuuun... sakit, Bu...!" Bagas
meringis kesakitan.
Lagi-lagi seisi kelas tertawa. Mereka seperti mendapatkan tontonan
gratis. Berbeda sekali dengan Chelsea yang wajahnya sudah memerah karena
menahan malu.
"Kalau mau pacaran, bukan di sini tempatnya! Sekolah itu
tempat untuk belajar, bukan untuk pacaran!" kata Bu Winda tegas.
“Iya, Bu… iya, maafin saya, Bu!” kata Bagas lagi.
Bu Winda melepaskan tangannya. “Sekarang kamu kembali ke kelas
kamu!” perintahnya tegas.
Bagas mengusap-usap telinganya, bekas jeweran Bu Winda tadi. Lalu
matanya kembali menatap ke dalam kelas. Tepat ke arah Chelsea.
“Chelsea, I Love you…!” Bagas setengah berteriak, lalu tersenyum
manis.
“Ciee… cieee…” seisi kelas kompak menggoda Chelsea.
Kalau saja Chelsea bisa menghilang, Chelsea ingin sekali
menghilang saat itu juga. Bagas sudah membuatnya malu.
Bagas kembali menatap Bu Winda sambil tersenyum. “Makasih buat
waktunya, Bu. Permisi…!” Bagas sedikit membungkukkan badannya, kemudian berlalu
pergi.
Bu Winda menghela napas sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dalam hati mungkin sedang memanjatkan doa semoga anaknya kelak tidak seperti
Bagas.
Setelah memastikan Bagas sudah hilang dari pandangannya, Bu Winda
kembali masuk ke kelas.
“Oke, sekarang kita lanjutkan pelajarannya, anak-anak!” kata Bu
Winda di depan kelas.
Chelsea menghela napas lega karena Bu Winda tidak memperpanjang
masalah itu.
***
Chelsea sedang asyik membaca novel yang baru dibelinya kemarin
saat Bagas masuk ke kelasnya. Saking asyiknya membaca novel, Chelsea tidak
menyadari kedatangan Bagas.
"Hai, sayang!" sapa Bagas sambil duduk di depan Chelsea.
Chelsea mendongak sedikit kaget dan dengan cueknya kembali membaca
novel.
'Ya ampun... nih cowoknya dateng kok dicuekin gini sih?' batin
Bagas kesal. Dia merebut novel yang dibaca Chelsea begitu saja.
"Bagas! Apaan sih? Gue lagi baca, tau?"
"Gue dateng ke sini kan karena kangen sama lo. Tapi malah lo
cuekin." Bagas cemberut.
"Gue lagi sebal sama lo tau, nggak?" kata Chelsea galak.
Bagas garuk-garuk kepala frustasi. Sejak kemarin Chelsea
marah-marah terus. 'Lagi PMS kali ya?' pikirnya.
"Kenapa lagi?"
"Lo pura-pura nggak tau atau gimana sih? Lo sadar nggak kalo
lo udah bikin gue malu?" Chelsea marah-marah. "Apa maksud lo tadi
datang ke kelas gue pas jamnya Bu Winda? Lo mau mempermalukan gue di depan
teman-teman gue??"
Bagas nyengir kuda. "Nggak ada maksud buat mempermalukan lo
kok. Kan gue udah bilang kalo gue kangen sama lo."
"Tapi nggak pas jam pelajaran juga, kan?"
"Hehehe... iya, maaf...! Jangan marah-marah mulu dong!"
ucap Bagas. "Ke kantin yuk?"
Chelsea menggeleng. "Nggak ah, gue nggak lapar."
"Ya udah, temenin gue makan aja, gimana?"
"Tapi lo harus janji nggak akan bikin masalah lagi!"
"Iyaaa... gue janji!" Bagas mengacungkan jari telunjuk
dan jari tengahnya.
Chelsea berpikir sejenak, lalu mengangguk. Bagas tersenyum dan
langsung menggandeng tangan Chelsea menuju kantin.
Sampai di kantin, pandangan mereka menyapu seisi kantin. Saat
Chelsea masih kebingungan mencari tempat duduk, Bagas sudah menarik tangan
Chelsea menuju sebuah meja.
"Semuanya, tolong pergi ya! Tuan Putri mau duduk di
sini," seru Bagas pada sekumpulan anak di meja sudut kantin.
Chelsea ternganga. Bagas tidak berubah. Dia masih sok berkuasa.
Dan Chelsea sangat tidak suka dengan sikap sok berkuasanya itu.
Anak-anak di meja itu buru-buru membereskan makanan mereka dan
hendak pergi. Tapi Chelsea menahannya.
"Eh, tunggu! Kalian nggak usah pergi! Biar kami cari meja
lain aja!" kata Chelsea cepat-cepat.
Chelsea menarik Bagas ke meja lain. Membuat anak-anak yang tadi
sempat diusir oleh Bagas jadi melongo.
Untunglah Chelsea menemukan meja lain yang masih kosong. Chelsea
menyuruh Bagas duduk dengan tatapan marah. Seolah akan menelan Bagas
hidup-hidup.
Chelsea duduk tepat di depan Bagas. "Gue kan udah pernah
bilang, hilangkan sifat sok berkuasa lo! Gue nggak suka!" omel Chelsea.
"Iya, cerewet...," ucap Bagas gemas.
Chelsea mengambil novelnya dari tangan Bagas. "Kalo lo nggak
suka punya cewek cerewet kayak gue, cari cewek lain aja!" ucapnya sembari
membolak-balikkan halaman novelnya.
Tatapan Bagas berubah serius. "Yakin lo nyuruh gue cari cewek
lain lagi?"
Hati Chelsea rasanya mencelos. Tatapan yang sebelumnya tertuju
pada novel, langsung beralih menatap Bagas. Dia salah ngomong! Apa Bagas serius
akan mencari cewek lain lagi? Apa penyakit playboy-nya kambuh lagi?
Melihat ekspresi wajah Chelsea, Bagas tersenyum. "Tenang aja,
sayang... sampai kapan pun, hati gue cuma buat lo," lanjutnya sambil
mengedip-ngedipkan matanya genit.
Bagas memang raja gombal. Tapi entah kenapa Chelsea selalu
melayang mendengar gombalannya. Jadi... mau, tak mau, Chelsea tersenyum.
"Nah... gitu dong, kalo senyum kan cantik?" ucap Bagas.
***
Hari sudah mulai larut. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.
Bagas turun dari Ninja merah miliknya setelah melepas helm. Saat memasuki
rumahnya, sekilas Bagas melirik Pak Erlangga - Papanya - yang tengah membaca
koran di ruang keluarga. Bagas tetap cuek tanpa mengucap salam atau pun menyapa
Pak Erlangga.
"Dari mana saja kamu?" tanya Pak Erlangga galak.
Bagas yang hendak menaiki tangga, terpaksa menghentikan langkah.
"Main," jawabnya cuek tanpa menatap Pak Erlangga.
"Duduk! Papa mau bicara!" perintah Pak Erlangga tegas.
Barulah Bagas membalikkan badannya sembari menatap Papanya
malas-malasan. "Besok aja, Pa! Sekarang Bagas mau tidur. Capek!"
Pak Erlangga menatap tajam Bagas dari balik kacamatanya.
"Papa bilang, duduk!" perintahnya lagi.
"Ck!" Bagas berdecak kesal, lalu duduk di sofa, tepat di
hadapan Pak Erlangga. "Kenapa?"
"Sampai kapan kamu mau berubah, hah? Setiap hari kerjaan kamu
keluyuran nggak jelas dan pulang larut malam. Mau jadi apa kamu??" omel
Pak Erlangga.
"Kalo Papa cuma mau ceramah, simpan saja ceramahnya buat
besok! Hari ini Bagas malas dengar ceramah Papa," kata Bagas, lalu
beranjak dari sofa.
"Bagas!! Papa belum selesai bicara!!" bentak Pak
Erlangga.
"Pa, sejak kapan sih Papa peduli sama Bagas? Bukannya selama ini
Papa selalu sibuk sama pekerjaan Papa? Semua yang Bagas lakuin, ke mana Bagas
pergi, Papa nggak pernah peduli!" ucap Bagas marah.
Pak Erlangga meremas koran di tangannya, mencoba menahan emosi
yang siap meledak kapan saja.
Karena tidak ada jawaban apapun dari Pak Erlangga, Bagas
membalikkan badannya hendak pergi.
"Sabtu malam besok, Papa akan mengundang sahabat Papa untuk
makan malam di rumah. Kamu harus ikut serta dalam makan malam itu." Ucapan
Pak Erlangga menghentikan langkah Bagas.
Bagas membalikkan badan dan mengangkat alisnya. "Kenapa aku
harus ikut?"
"Jelas kamu harus ikut, karena makan malam ini ada
hubungannya dengan kamu."
Bagas mengerutkan keningnya. "Maksud Papa?"
Pak Erlangga menghela napas. "Papa berniat akan menjodohkan
kamu dengan putri sahabat Papa."
Bagas terperangah mendengar ucapan Pak Erlangga. "Apalagi
ini? Papa seenaknya aja menjodohkan aku dengan cewek pilihan Papa?! Aku nggak
mau, Pa!"
"Ini yang terbaik untuk kamu, Bagas...," kata Pak
Erlangga kemudian.
Bagas tersenyum sinis. "Apa?! Terbaik buat aku?? Memangnya
selama ini Papa tahu apa yang terbaik buat aku?? Dan sekarang Papa bersikap
seolah-olah tahu apa yang terbaik buat aku?!" Bagas mulai emosi.
"Maaf, Pa... aku nggak bisa! Aku udah punya seseorang yang aku cintai. Jadi
aku menolak perjodohan ini."
Ekspresi wajah Pak Erlangga mulai marah. "Seseorang yang kamu
cintai?? Sama cewek yang mana lagi?? Memangnya kamu pernah serius pacaran sama
cewek-cewek kamu itu??" tanya Pak Erlangga emosi. "Yang Papa tahu,
kamu sering gonta-ganti cewek dan nggak pernah serius sama mereka. Kamu cuma
main-main sama mereka!" lanjut Pak Erlangga, lalu menarik napas.
"Kamu sudah besar, Bagas. Kamu nggak bisa bermain-main terus. Kamu harus
berubah. Makanya... Papa pikir perjodohan ini yang terbaik buat kamu."
Bagas tersenyum sinis. "Terserah Papa mau bilang apa. Aku
tetap menolak perjodohan ini!" ujarnya kemudian. Lalu dia berbalik dan
berjalan menaiki tangga meninggalkan Pak Erlangga.
"Papa tidak mau tahu! Kamu harus ikut dalam makan malam
besok!" teriak Pak Erlangga, namun diabaikan oleh Bagas.
***
JEBRET!!!
Bagas menutup pintu kamarnya dengan kasar. Dilemparkannya tas
ranselnya ke sembarang tempat. Lalu ia menjatuhkan dirinya ke tempat tidur.
Bagas menatap langit-langit kamarnya. Mencoba meredam emosinya
saat ini. Dia tak habis pikir dengan Papanya. Kenapa Papanya seenaknya saja
akan menjodohkan dia dengan putri sahabatnya? Memangnya ini zaman Siti Nurbaya?
Tiba-tiba suara ponselnya berbunyi. Tanda ada pesan masuk. Bagas
merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel itu.
From: My Princess
Have a nice dream, my prince... :*
Bagas tersenyum tipis membaca pesan singkat dari Chelsea. Tapi
Bagas tak berniat membalasnya. Bukan karena tidak peduli, tapi karena suasana
hatinya yang sedang buruk saat ini.
Bagas melihat jam dindingnya. Sudah jam sebelas lewat. Biasanya
Bagas selalu menelepon Chelsea walau hanya sekadar untuk mengucapkan selamat
malam saja. Atau paling mentok kalau tidak ada pulsa, sebagai gantinya ucapan
itu akan dikirimnya melalui SMS. Tapi malam ini Bagas tidak melakukan keduanya.
Chelsea pasti sudah menunggunya.
"Maafin gue, Chel...," ucapnya lirih.
Bagas meletakkan ponselnya di meja kecil samping tempat tidurnya.
Bagas memejamkan matanya, mencoba untuk melupakan masalah-masalahnya hari ini.
***
Chelsea mendesah kecewa saat menatap layar ponselnya. Kosong. Tak
ada pesan atau pun panggilan dari Bagas. SMS-nya yang semalam pun tidak
dijawab. Saat pagi ini Chelsea mencoba melakukan panggilan ke nomor Bagas,
tetap tidak ada jawaban dari nomor pemiliknya.
’Bagas kenapa sih? Nggak biasanya gini!’ ucapnya dalam hati.
Chelsea melirik jam tangannya. Dia harus berangkat sekarang. Kalau
tidak, dia bisa terlambat. Mungkin nanti dia bisa meminta penjelasan kepada
Bagas saat di sekolah.
***
Begitu sampai di sekolah, Chelsea langsung menuju kelas Bagas. Di
sana sudah ada Difa yang tengah duduk di bangkunya. Chelsea menghampirinya.
"Difa, Bagas di mana?" tanya Chelsea to the
point.
Difa mengerutkan keningnya. "Bagas? Dia belum datang.
Memangnya ada apa?"
"Kalo dia udah datang, tolong kabari gue ya! Dari tadi gue
coba hubungi dia, tapi nggak bisa. Gue khawatir dia kenapa-kenapa," kata
Chelsea cemas.
Difa dapat menangkap kekhawatiran dari wajah Chelsea. Seingat
Difa, semalam dia masih bersama Bagas dan sepertinya Bagas masih baik-baik
saja. Tidak ada tanda-tanda kalau cowok itu sedang ada masalah.
"Ya udah, lo tenang dulu. Gue coba telepon dia ya?" Difa
menenangkan.
Difa mencoba melakukan panggilan ke nomor Bagas. Dan dia mendesah
kecewa karena ternyata nomor Bagas sudah tidak aktif.
"Gimana?" tanya Chelsea harap-harap cemas.
Difa menggeleng. "Nomornya nggak aktif." Difa mulai
berpikir. "Biasanya kalo dia mau bolos, pasti dia ngajak gue, Gilang, sama
Josia," lanjutnya.
Chelsea terdiam. Mengingat-ingat terakhir dia bersama Bagas. Saat
itu Bagas baik-baik saja. Jadi sebenarnya kenapa dengan cowok itu??
"Chel, mungkin Bagas terlambat. Sekarang lo lebih baik ke
kelas aja! Begitu ada kabar tentang Bagas, gue langsung kabari lo." Difa
menyarankan.
Chelsea menghela napas. "Oke. Thanks ya, Dif..." Dengan
berat hati, Chelsea meninggalkan kelas Bagas.
***
Sampai bel pulang berbunyi, masih belum ada kabar dari Bagas.
Berkali-kali Chelsea mencoba menghubungi nomor Bagas, tapi nomor itu masih
belum aktif. Membuat kecemasan di hati Chelsea semakin bertambah.
Chelsea melangkah lesu menuju tempat parkir. Setelah masuk ke
mobil, Chelsea mengendarai mobil menuju ke rumahnya. Selama perjalanan pun
Chelsea tidak konsen menyetir. Bahkan dia hampir saja menabrak kucing yang
tiba-tiba lewat di depannya. Untung saja dia mengerem pada waktu yang tepat.
Mobil Chelsea melambat saat sudah hampir sampai di depan rumah. Di
depan rumahnya, Chelsea melihat seseorang berada di atas ninja merah. Mata
Chelsea terbelalak. Bagas!
Cepat-cepat Chelsea turun dari mobil dan menghampiri ninja merah
itu. Dan benar tebakannya. Seseorang itu adalah Bagas. Bagas masih mengenakan
seragam sekolah yang dibungkus dengan jaket kulitnya. Biarpun penampilan cowok
itu berantakan, kelegaan yang luar biasa terpancar dari wajah Chelsea. Paling
tidak dia sudah tahu kalau Bagas baik-baik saja.
"Bagas! Lo ke mana aja sih? Lo bolos lagi? Kenapa lo nggak
angkat telepon gue? Terus kenapa HP lo dimatiin? Lo nggak tahu, kalo gue
khawatir sama lo??" omel Chelsea bertubi-tubi. Matanya sudah berkaca-kaca
hampir menangis.
Seperti biasa, Bagas tersenyum, tanpa menunjukkan rasa bersalahnya
sedikit pun. "Jadi... lo khawatir sama gue?" tanyanya sembari
tersenyum jail.
Chelsea terperangah menatap respon dari cowok itu. Seharian
Chelsea khawatir akan keadaan cowok itu, tapi sepertinya hanya sia-sia. Tidak
ada perasaan bersalah dari cowok itu.
Air mata Chelsea langsung tumpah. Dia merasa dipermainkan oleh
Bagas. Mungkin rasa khawatirnya dianggap lelucon oleh Bagas.
"Lo keterlaluan tahu, nggak? Gue benci sama lo!" Chelsea
membalikan badannya hendak pergi, tapi buru-buru Bagas menahan tangannya.
Bagas turun dari motornya dan langsung memeluk Chelsea dari
belakang. "Lo boleh marah-marah sama gue, tapi lo nggak boleh benci sama
gue!" ucap Bagas lirih. "Maafin gue ya...?" lanjutnya kemudian.
Hati Chelsea langsung luluh. Dia memang mengatakan kalau dia
membenci Bagas, tapi hanyalah sekadar ucapan. Hatinya tidak bisa membenci cowok
itu. Dia hanya kesal karena cowok itu sudah membuatnya khawatir.
Bagas melepaskan pelukan Chelsea, lalu memutar tubuh gadis itu.
Ditatapnya Chelsea dalam-dalam. Hatinya terasa teriris saat melihat air mata di
wajah Chelsea. Bagas mengusap air mata di wajah Chelsea dengan tangannya.
"Gue memang cowok brengsek. Bisanya cuma bisa bikin lo
nangis. Lagi-lagi lo nangis karena gue," kata Bagas dengan wajah penuh
penyesalan.
"Siapa yang nangis? Gue nggak nangis kok." Chelsea
menghapus sisa-sia air matanya. "Gue cuma... kelilipan...," katanya
berbohong.
"Maafin gue
ya... karena hari ini, gue udah membuat lo khawatir," ucap Bagas sambil
menatap Chelsea lembut.
Chelsea tersenyum. "Nggak apa-apa. Gue yakin mungkin lo punya
alasan ingin menyendiri. Tapi... lain kali jangan gini lagi ya! Jangan bikin
orang khawatir."
Bagas memberi tanda hormat. "Siap, Tuan Putri."
***
Sabtu malam...
Bagas berdiri bersandar pada pilar di balkon kamarnya. Dia sudah
terlihat rapi memakai setelan jas abu-abu yang disiapkan oleh Mamanya. Kalau
cewek-cewek melihat penampilannya malam itu, pasti akan langsung jatuh hati
padanya. Bagas terlihat tampan bak pangeran dari kerajaan.
Bagas melihat jam tangannya. Tiga puluh menit lagi jam akan
menunjukkan pukul tujuh malam. Itu artinya acara makan malam akan dimulai. Bagas
sebenarnya sudah menolak mati-matian perjodohan itu. Tetapi Bu Ira, Mamanya,
memaksa agar Bagas menuruti permintaan Pak Erlangga, yaitu untuk ikut serta
dalam makan malam itu.
Bagas sangat menyayangi Mamanya. Jadi karena Bagas tidak tega
melihat Mamanya yang terus memohon, ia dengan terpaksa mau ikut dalam makan
malam itu.
Sebuah mobil berhenti di depan rumah Bagas. Bagas yakin mobil itu
milik sahabat Papanya. Bagas memicingkan matanya untuk melihat cewek yang akan
dijodohkan dengannya. Tapi tidak jelas karena cahaya lampu malam itu tidak
cukup terang untuk melihat seseorang dari kejauhan. Hingga suara Bu Ira
memanggilnya, Bagas masuk ke kamar untuk membuka pintu kamarnya.
"Tamu Papa sudah datang. Ayo kita sambut dulu di depan!"
ucap Bu Ira lembut.
"Iya, Ma," jawab Bagas malas-malasan.
Bagas mengikuti langkah Bu Ira dari belakang untuk berjalan
menuruni tangga. Sampai di ruang tamu, langkah Bagas terhenti. Kaget melihat
teman satu sekolahnya kini duduk di sofa ruang tamunya.
"Cindai?" tanya Bagas tak percaya.
Perasaan Bagas mulai tidak enak. Kenapa Cindai ada di rumahnya?
Benarkah Cindai adalah orang yang akan dijodohkan dengannya?
Seseorang yang namanya disebut Bagas, Cindai, menoleh ke arah
Bagas. Begitu pun dengan yang lainnya. Cindai hanya tersenyum.
"Bagas, kenalin, ini sahabat Papa namanya Oom Yusuf. Yang
duduk di sebelahnya adalah istrinya, namanya Tante Sonya." Pak Erlangga
memperkenalkan.
Bagas menjabat tangan Pak Yusuf dan Bu Sonya dengan tersenyum
kaku.
"Dan yang cantik itu adalah putri mereka, namanya Cindai.
Kalian satu sekolah kan?" lanjut Pak Erlangga.
"Iya, Oom. Kami memang satu sekolah, tapi beda kelas,"
ucap Cindai. Senyum ramah masih menghiasi wajahnya.
"Kalau kalian satu sekolah, tentu akan lebih mudah bagi
kalian untuk saling mengenal," kata Pak Yusuf.
Bagas hanya menanggapinya dengan senyum.
"Kalau begitu, mari kita mulai makan malamnya sekarang!"
ajak Bu Ira mempersilahkan.
Setelah itu mereka memulai makan malamnya. Bagas duduk tepat di
hadapan Cindai. Malam itu Cindai mengenakan gaun warna biru muda dan rambut
panjangnya dibiarkan terurai. Bagas akui, Cindai memang terlihat sangat cantik.
Tapi baginya, Chelsea lebih cantik. Dan tak ada seorang pun yang dapat
menggantikan posisi Chelsea di hatinya.
Pak Erlangga dan Pak Yusuf larut dalam pembicaraan bisnis mereka.
Bagas dan Cindai lebih banyak diam. Terutama Bagas yang lebih banyak menunduk
sembari mengaduk-aduk makanannya. Dia tidak punya selera untuk makan.
"Bagas, Cindai... sebelumnya kalian pasti sudah mengetahui
apa tujuan makan malam ini." Pak Erlangga mengalihkan topik pembicaraan.
"Kami semua memang berniat akan menjodohkan kalian," lanjutnya.
"Pa, bukannya ini terlalu cepat ya? Lulus sekolah saja belum,
tapi Papa sudah mau menjodohkan kita," celetuk Bagas. "Lagian... belum
tentu juga kan Cindai setuju?" Bagas melirik Cindai sesaat.
"Bagas, Oom sudah membicarakannya dengan Cindai sebelumnya.
Dan Cindai setuju dengan perjodohan ini," jelas Pak Yusuf.
Bagas menatap Cindai tidak percaya. Bukankah Cindai tahu kalau
status Bagas sekarang adalah pacar Chelsea? Lalu mengapa dia menerima
perjodohan itu?
"Iya, Bagas. Lagi pula... kami kan tidak akan buru-buru
menikahkan kalian. Kalian masih harus lulus sekolah dulu dan melanjutkan
kuliah," tambah Bu Sonya.
"Pa, Ma, Oom, Tante... mungkin Bagas masih butuh waktu untuk
berpikir. Cindai nggak akan memaksa. Cindai akan menunggu sampai Bagas
siap," ucap Cindai lembut.
"Ternyata kamu memang gadis yang baik. Nggak salah kalau Oom
dan Tante pilih kamu," ucap Bu Ira.
Bagas tersenyum sinis. ’Dasar sok baik! Pake cari perhatian lagi!’
batin Bagas sebal. "Maaf, Pa, Ma, Oom, Tante... aku mau bicara berdua sama
Cindai bisa?" tanya Bagas.
"Tentu saja. Kalian pasti butuh waktu untuk bicara
berdua," kata Pak Yusuf.
Setelah berpamitan, Bagas berjalan menuju taman belakang diikuti
Cindai. Sampai di depan gazebo, Bagas berhenti dan berbalik menghadap Cindai.
"Sebenarnya apa tujuan lo?" tanya Bagaz to the
point.
Cindai memandang Bagas tak mengerti. "Maksud lo?"
Bagas berdecak kesal. "Lo tahu kan kalo gue sama Chelsea
pacaran?"
"Gue tahu," jawab Cindai santai.
"Lalu kenapa lo menerima perjodohan ini?"
Cindai tersenyum, lalu berjalan menuju gazebo dan duduk di sana.
"Memangnya kenapa kalau kalian pacaran?" Cindai balik tanya.
Bagas menghela napas frustasi. Sebenarnya apa sih maunya cewek
ini?
"Gue nggak peduli kalau lo pacaran sama Chelsea. Lagian...
kalian baru pacaran kan? Dan yang gue tahu, lo nggak pernah serius pacaran sama
cewek. Palingan sebentar lagi juga lo putus sama dia," lanjut Cindai
sembari tersenyum.
"Heh! Jaga ya, ucapan lo! Gue serius sama Chelsea dan gue
nggak akan putus sama dia!" Bagas mulai emosi.
"Oh ya? Lalu gimana dengan gue? Gue adalah calon tunangan
lo!" balas Cindai ikutan emosi.
Bagas berdecak kesal. "Sebenarnya apa sih mau lo?"
Cindai menatap tajam Bagas. "Yang gue mau adalah... lo! Gue
suka sama lo."
Bagas tercekat. Bingung harus menjawab apa? Benarkah yang
dikatakan Cindai? Apa benar Cindai menyukainya? Kenapa semuanya jadi terasa
semakin rumit?
"Gue nggak ngerti lo ngomong apa. Batalkan perjodohan ini
sekarang juga!" ujar Bagas.
"Gue nggak mau!" Cindai bangkit dari tempat duduknya.
"Gue akan masuk sekarang. Gue nggak mau mereka nungguin kita
kelamaan." Cindai berjalan melewati Bagas, lalu tiba-tiba langkahnya
terhenti dan berbalik menatap Bagas. "Satu hal lagi, gue akan bilang sama
orang tua kita, kalau kita setuju dengan perjodohan ini."
Baru beberapa langkah, Bagas meraih tangan Cindai untuk menahan
langkahnya. "Jangan sembarangan lo! Gue nggak setuju sama perjodohan ini!!"
"Lepasin tangan gue!!" Cindai mencoba melepaskan
tangannya dari Bagas, tapi percuma karena tenaga Bagas lebih kuat.
"Gue akan lepasin tangan lo, asal lo bilang sama orang tua
kita untuk membatalkan perjodohan ini."
"Gue nggak mau! Lepasin tangan gue!!"
"Nggak! Lo harus janji dulu!"
"Oke. Kalau lo nggak mau lepasin tangan gue, gue akan teriak!
Gue akan bilang sama orang tua kita kalau lo macam-macam sama gue!" ancam
Cindai.
Bagas menyerah. Perlahan dia melepaskan tangan Cindai. Bukan
karena takut, tapi Bagas tidak mau semuanya menjadi semakin rumit. Kalau Cindai
cerita yang nggak-nggak, mereka tidak hanya akan dijodohkan saja, tapi mungkin
akan langsung dinikahkan besok.
Cindai menarik tangannya kasar dan berjalan masuk meninggalkan
Bagas.
"Brengsek!" Bagas mengacak-acak rambutnya frustasi.
***
Chelsea sedang berjalan melewati koridor sekolah menuju ke tempat
parkir. Dia tersentak kaget saat tiba-tiba seseorang menggandeng tangannya.
Chelsea menoleh. "Bagas?"
Bagas balas menatap Chelsea dan tersenyum. "Kok nggak
nungguin gue?"
"Memangnya lo minta ditungguin?" Chelsea balik tanya.
"Ya... biar romantis aja gitu."
Chelsea tertawa kecil. "Kan kita pulangnya juga
sendiri-sendiri."
Bagas mengeratkan genggamannya pada tangan Chelsea. "Kenapa
sih, lo nggak mau gue antar-jemput?"
Mereka sampai di tempat parkir. Chelsea membuka pintu mobilnya,
lalu berdiri menghadap Bagas.
"Karena lo itu pacar gue, bukan sopir gue," jawab
Chelsea singkat. Senyum manis terlukis di wajahnya.
Bagas menghela napas. Jawabannya selalu sama. Seringkali Bagas
menawarkan untuk mengantar-jemput Chelsea, tapi Chelsea selalu menolak.
"Gue pulang duluan ya?" pamit Chelsea.
Bagas mengangguk. "Hati-hati ya!"
"Oke." Chelsea masuk ke dalam mobil.
Bagas membantu menutup pintu mobil Chelsea. Lalu dia membungkukkan
sedikit tubuhnya untuk menyejajarkan wajahnya dengan jendela mobil.
"Telepon gue kalau udah sampai rumah ya!"
Chelsea mengangguk, lalu mulai menjalankan mobilnya. Setelah mobil
Chelsea hilang dari pandangan, Bagas menyandarkan tubuhnya di mobil lain.
Bagaimana caranya untuk memberitahu Chelsea tentang perjodohan itu? Jujur Bagas
tidak mau kebahagiaan ini berakhir.
"Gas!" Difa menepuk pundak Bagas, menyentakkan Bagas
dari lamunannya. "Lagi jadi tukang parkir lo di sini?" tanya Difa
bercanda.
"Sialan lo! Mana ada tukang parkir seganteng gue?" sahut
Bagas pe-de.
Difa hanya menanggapinya dengan tawa. "Cabut yuk, ke rumah
gue! Kita PS-an..." Difa nyengir kuda.
"Berdua?"
"Nggak. Gilang sama Josia juga ikut."
Bagas berpikir sejenak. Ya... mungkin saja dengan bermain PS bisa
menghilangkan masalahnya walaupun hanya sejenak.
"Oke," jawab Bagas senang.
***
Chelsea membuka pintu depan dan menghampiri Bagas yang tengah
duduk di kursi teras. Bagas yang awalnya sedang menunduk, langsung mengangkat
kepala dan tersenyum.
"Bagas?" tanya Chelsea heran.
Bagas berdiri. "Jalan-jalan yuk!"
"Ke mana?"
"Ada deh... Nanti lo juga tahu."
"Ya udah, gue ganti baju dulu ya?"
Bagas mengangguk dan kembali duduk sambil menunggu Chelsea.
***
Bagas mengajak Chelsea ke pantai. Pantai yang sama seperti saat
Bagas pertama kali mengajak Chelsea dulu. Bagas meraih tangan Chelsea dan
menggenggamnya lembut. Mereka berdua berjalan menyusuri bibir pantai sambil
menikmati keindahan pantai dalam diam.
Chelsea menatap Bagas disampingnya. Wajah Bagas terlihat kusut.
Sepanjang perjalanan, Bagas lebih banyak diam. Tidak biasanya Bagas seperti
ini. Perubahan itu dirasakan oleh Chelsea sejak Bagas bolos sekolah. Sepertinya
cowok itu memang sedang menyimpan masalah. Entah masalah apa itu. Chelsea ingin
sekali bertanya, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia takut Bagas masih belum
siap untuk bercerita.
"Lo ingat, nggak, pertama kali gue ajak lo ke sini?"
tanya Bagas memecah keheningan di antara mereka.
"Ingat dong... waktu lo ngajakin gue bolos kan?" Chelsea
tersenyum.
Langkah Bagas berhenti dan dia menatap Chelsea. "Memangnya
gue yang ajakin lo bolos? Bukannya lo sendiri yang mau?" goda Bagas.
"Mmm... tapi ya... tetap aja karena gue dapat pengaruh dari
lo!"
Bagas tertawa kecil. "Dasar nggak mau kalah!" Bagas
mengusap-usap puncak kepala Chelsea.
Suasana hening sesaat. Bagas menghadap ke pantai. Menatap laut
luas. Warna birunya sangat menyejukkan hati. Membuat hatinya yang sebelumnya
gelisah, menjadi sedikit tenang. Sejak tadi dia sibuk merangkai kata-kata untuk
menjelaskan kepada Chelsea tentang perjodohannya dengan Cindai. Tetapi entah
kenapa sangat sulit untuk terucap.
Tiba-tiba dari belakang meluncur sebuah bola voli yang hendak
mengenai punggung Chelsea. Refleks Bagas memeluk Chelsea dan memutar tubuhnya.
Membiarkan bola itu mengenai punggungnya.
"Aarrghhh...." Bagas mengerang pelan, menahan rasa sakit
akibat kerasnya terkena bola itu.
Chelsea melepaskan pelukan Bagas dan menatap Bagas cemas.
"Bagas, lo nggak apa-apa?"
"Ahh... sakit banget, Chel!" Bagas memegangi punggungnya
sambil meringis kesakitan.
"Mananya yang sakit?" tanya Chelsea panik.
"Tolong obatnya aja, Chel!"
Chelsea mengerutkan kening bingung. "Obat? Pakai apa?"
"Pakai ciuman lo." Bagas nyengir kuda.
"Yeee... itu sih maunya lo!" Chelsea memukul pelan
lengan Bagas.
"Jalan-jalan ke sana yuk!" ajak Bagas sambil menunjuk
para pedagang di pinggir pantai.
Chelsea mengangguk semangat. "Ayo!"
Bagas dan Chelsea berjalan menuju deretan para pedagang yang berjejer
menjual barang dagangan mereka. Ada yang berjualan pakaian, sepatu, aksesoris,
dan berbagai macam makanan.
Setelah cukup lama berkeliling, Chelsea berhenti di depan
penjual aksesoris. Ada berbagai macam pernak-pernik lucu mulai dari jepit
rambut, ikat rambut, kalung, gelang dan masih banyak lagi. Mata Chelsea terpaku
pada dua buah gelang yang terbungkus rapi menjadi satu. Seperti gelang untuk
pasangan.
"Silahkan mas, mba, mau cari apa?" tanya penjual
aksesoris itu ramah. Seorang ibu berumur sekitar 50-an.
"Saya liat gelang yang ini ya, Bu." ucap Chelsea sambil
mengambil gelang itu. "Bagus, nggak?" tanya Chelsea meminta pendapat
Bagas.
Bagas menatap gelang di tangan Chelsea. Gelang dengan
pernak-pernik dan model yang sama. Yang membedakan adalah warnanya. Yang satu
berwarna biru tua, dan yang satunya berwarna merah muda.
"Bagus," komentar Bagas singkat.
Chelsea tersenyum. "Saya beli yang ini, Bu."
Setelah membayar dengan sejumlah uang yang disebutkan oleh penjual
aksesoris itu, Chelsea membuka bungkusnya dan mengambil gelang berwarna merah
muda. Dipakainya gelang itu di tangannya.
Lalu Chelsea mengambil gelang yang berwarna biru tua. Diraihnya
tangan Bagas dan Chelsea memakaikan gelang itu pada tangan Bagas. Chelsea
tersenyum puas.
"Oh... jadi ternyata lo beli gelang ini buat kita berdua?
Gelang couple?" Bagas baru sadar. "Ternyata pacar gue alay juga ya?
Hahaha..."
Chelsea merengut. "Oh... jadi lo nggak suka? Ya udah, sini
lepas aja! Biar gue kasih ke cowok lain aja!" Chelsea meraih tangan Bagas
dan hendak merebut gelang itu.
Tapi dengan sigap Bagas menarik tangannya dan menyembunyikannya di
balik punggung. "Gue bercanda. Gue suka, sayang..." Bagas tersenyum
manis.
"Jaga baik-baik ya!" ucap Chelsea.
"Pasti," jawab Bagas mantap. "Udah sore. Mau
pulang?"
Chelsea menggeleng. "Gue nggak mau. Gue mau nungguin
sunset!"
Bagas melihat jam tangannya. Benar juga kata Chelsea. Sebentar
lagi mereka bisa melihat sunset. Sayang juga kalau sudah datang jauh-jauh ke
pantai, tetapi mereka melewatkan sunset. Matahari terbenam yang terlihat indah
di ujung pantai.
Bagas tersenyum. "Oke. Kita pulangnya setelah lihat
sunset."
Bagas menarik tangan Chelsea dan membawanya kembali ke bibir
pantai. Duduk di atas pasir sambil menunggu matahari terbenam.
Chelsea menatap Bagas dari samping dan tangannya menggenggam
tangan Bagas dengan lembut. Dia hanya ingin memberi sedikit kekuatan untuk
Bagas. Bahwa seberat apapun masalah yang sedang dihadapinya, dia masih punya
Chelsea di sampingnya.
Bagas menoleh dan tersenyum. Dia tetap berusaha menunjukkan pada
Chelsea bahwa dia baik-baik saja. Bagas kembali menatap ke arah pantai, tepat
pada saat itu Chelsea mendaratkan sebuah ciuman di pipi Bagas.
"Gue sayang sama lo," ucap Chelsea lembut.
Sontak Bagas terkejut dan langsung menoleh. Hal yang tidak biasa
dilakukan Chelsea. Sejak pacaran, belum pernah Chelsea mengungkapkan
perasaannya pada Bagas. Walaupun Bagas tahu, rasa sayang tidak harus
diungkapkan dengan kata-kata. Tapi ucapan Chelsea tadi, memberikan perasaan
hangat dalam hatinya.
Chelsea tersenyum. "Kenapa? Belum pernah dicium cewek cantik?"
Bagas tertawa kecil. Pipinya sedikit memerah karena malu. Ya...
bagi Bagas, Chelsea adalah cewek tercantik di dunia selain Mamanya. Dan sejak
pacaran pula, ini adalah pertama kalinya Chelsea mencium Bagas.
Bagas meraih Chelsea ke dalam pelukannya. "Makasih ya,"
ucapnya lirih.
"Buat?"
"Semuanya..."
Untuk sejenak Bagas melupakan perjodohannya dengan Cindai. Dia
tidak ingin merusak moment bahagianya bersama Chelsea.
"Chel,"
"Hmm?"
"Pokoknya apapun yang terjadi nanti, jangan pernah lo
tinggalin gue ya!" pinta Bagas.
Chelsea mendorong tubuh Bagas pelan untuk melepaskan pelukannya
dan menatap Bagas dengan bingung. "Memangnya... ada apa?"
Bagas menggeleng dan tersenyum. Mencoba mengusir berbagai tanya di
pikiran Chelsea. "Nggak apa-apa." Bagas mengacungkan jari
kelingkingnya. "Lo mau janji kan?"
Meski masih ada yang mengganjal dalam hati Chelsea, tapi ia tetap
mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Bagas. Sebagai jawaban,
Chelsea mengangguk dan tersenyum. Membuat Bagas tersenyum lega.
***
Bagas berjalan keluar kelas dan tiba-tiba Cindai sudah
menghadangnya di pintu kelas. Cindai memasuki kelas Bagas dan berdiri tepat di
depan Bagas.
"Mau apa lo ke sini?" tanya Bagas dingin.
"Ikut gue!"
Cindai menarik tangan Bagas tapi Bagas menahannya. Membuat Cindai
berusaha menarik tangan Bagas lebih kuat yang mengakibatkan gelang di tangan
Bagas terlepas. Pernak-pernik dari gelang itu berjatuhan ke lantai.
Bagas tertegun sesaat. Menatap pernak-pernik gelang itu yang sudah
berceceran di lantai. Gelang itu adalah pemberian Chelsea. Apakah ini merupakan
pertanda buruk? Apakah hubungannya dengan Chelsea akan berantakan seperti
gelang itu?
Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha membuang jauh-jauh
pikiran buruknya. Dia segera memunguti pernak-pernik gelang itu dan menjadikan
satu di tangannya. Tiba-tiba terngiang di telinganya ucapan Chelsea tiga hari
yang lalu saat Chelsea memintanya untuk menjaga baik-baik gelang itu. Tapi hari
ini dia merusaknya. Bagas jadi merasa bersalah.
"Gas, cuma gelang murahan gitu aja kenapa lo ambil lagi sih?
Lebih baik lo buang aja!" ujar Cindai kesal.
Bagas menatap Cindai dengan geram. Dia berdiri dan memasukkan
gelang itu ke dalam saku celananya.
"Lo jangan sembarangan ya kalo ngomong! Mungkin buat lo,
gelang ini murahan. Tapi buat gue, gelang ini sangat berarti!" ucap Bagas
emosi.
***
Chelsea turun dari mobilnya. Dia datang pagi-pagi sekali ke
sekolah. Sebenarnya tidak heran, karena sebagai siswi yang mendapat julukan
Miss Perfect di sekolahnya, dia sudah terbiasa datang lebih awal ke sekolah.
Chelsea berjalan melewati tempat parkir motor. Matanya terbelalak
saat melihat motor Bagas sudah terparkir di sana. Apakah mungkin seorang Bagas
datang sepagi ini ke sekolah? Chelsea bahkan berpikir kalau Bagas menginap di
sekolah.
Chelsea berganti menatap kotak makan di tangannya. Kebetulan
sekali jika Bagas sudah datang. Hari ini Chelsea sengaja membuat sandwich untuk
Bagas. Chelsea sadar kalau belakangan ini dia terlalu cuek pada Bagas. Jadi
untuk menebus perasaan bersalahnya, Chelsea mencoba untuk memberikan perhatian
kecil yaitu membuat sarapan untuk Bagas.
Baru saja Chelsea akan memasuki kelas Bagas, namun langkah kakinya
tiba-tiba berhenti saat melihat Cindai menarik tangan Bagas keluar kelas.
Buru-buru Chelsea bergerak mundur dan bersembunyi di balik dinding. Chelsea
mengintip, matanya terus mengikuti ke mana arah mereka pergi. Chelsea curiga
seperti ada sesuatu di antara mereka.
Karena penasaran, diam-diam Chelsea mengikuti mereka dari
belakang. Mereka memasuki ruang musik. Chelsea bersembunyi di dekat pintu.
Mencoba mendengar apa yang akan mereka bicarakan.
"Lo mau ngomong apa?" suara Bagas terdengar samar-samar.
"Kapan lo mau kasih tahu Chelsea tentang hubungan kita?"
Cindai balik tanya.
Deg! Jantung Chelsea seperti berhenti berdetak. Kenapa namanya
dibawa-bawa? Dan... hubungan? Memangnya mereka ada hubungan apa? Chelsea
kembali menajamkan telinganya lagi.
Bagas menghela napas. "Tolong kasih gue waktu!"
"Sampai kapan? Gue udah kasih waktu lo satu minggu."
"Tapi gue nggak bisa kasih tahu dia."
"Gue nggak mau tahu. Pokoknya lo harus kasih tahu Chelsea
secepatnya kalau sebentar lagi kita bertunangan!"
Ucapan terakhir Cindai bagaikan petir yang menyambar tubuh
Chelsea. Tubuh Chelsea mematung, tak bisa bergerak. Lidahnya kelu tak bisa berkata-kata.
Air mata langsung tumpah di pipinya.
Benarkah yang didengarnya barusan? Apa mereka benar-benar akan
bertunangan? Jika benar, lalu Bagas menganggap hubungannya dengan Chelsea apa?
Apakah Chelsea sama seperti cewek-cewek lainnya yang hanya dianggap mainan oleh
Bagas? Mengetahui kenyataan itu, hati Chelsea terasa sakit.
Kotak makan yang dipegang oleh Chelsea terjatuh. Menimbulkan suara
yang menyebabkan Bagas dan Cindai menoleh. Bagas baru menyadari bahwa Chelsea
berada tak jauh darinya. Chelsea mendengar semuanya. Wajah Bagas langsung
panik. Dengan cepat Bagas berlari ke arah Chelsea, tapi Chelsea buru-buru
berlari menjauhi Bagas.
"CHELSEA!!!" teriak Bagas.
Bagas terus mengejar Chelsea. Pikirannya kacau. Chelsea telah
mendengar semuanya. Bahkan di saat Bagas belum siap. Bagas takut Chelsea salah
paham.
Bagas berhasil meraih tangan Chelsea. "Chelsea, tolong
dengerin dulu penjelasan gue!"
Chelsea baru berhenti saat tangan Bagas menahannya. Dia mencoba
menguatkan hatinya untuk berbalik menghadap Bagas. Menatap Bagas dengan kedua
matanya yang sudah basah. "Apa benar... yang gue dengar tadi, kalau lo dan
Cindai... akan bertunangan?" tanya Chelsea terbata di sela-sela tangisnya.
Jujur Chelsea sangat takut untuk mendengar jawaban Bagas. Takut
jika jawaban itu akan semakin melukai hatinya.
Sesaat Bagas terdiam, lalu menghela napas dan mengangguk.
"Ya," jawabnya singkat.
Kini luka itu terasa menggores hati Chelsea semakin dalam. Air
matanya tak bisa berhenti. Dengan pandangan nanar, Chelsea menatap tangan Bagas
yang masih memegang pergelangan tangannya. Chelsea kecewa karena gelang
pemberiannya sudah tidak lagi dipakai Bagas. Hal itu semakin menguatkan
pemikiran Chelsea, bahwa dirinya tidak berarti apa-apa bagi Bagas. Semua ucapan
Bagas selama ini hanyalah omong kosong. Bagas tidak benar-benar menyayanginya.
"Lepasin tangan gue!" Chelsea menarik tangannya kasar.
"Chelsea... dengerin gue dulu...!" Bagas mulai putus
asa.
Chelsea buru-buru menutup kedua telinga dengan tangannya.
"Gue nggak mau dengar apa-apa lagi! Semuanya udah jelas! Lo nggak pernah
berubah!!" ucap Chelsea dengan nada tinggi.
Bagas menarik tangan Chelsea agar Chelsea mau mendengarkan
ucapannya. "Gue memang mau bertunangan dengan Cindai. Tapi itu semua bukan
keinginan gue! Gue sama Cindai dijodohin, Chel... Dan gue akan menolak
perjodohan ini!" jelas Bagas.
"Lo pikir gue percaya?" Chelsea menggelengkan kepalanya.
"Nggak! Selama ini dengan bodohnya gue percaya kalau lo tulus sayang sama
gue. Tapi ternyata gue sama kayak cewek-cewek lo sebelumnya yang cuma lo jadiin
mainan!" lanjut Chelsea di sela-sela tangisnya. "Apa ini yang selalu
lo lakuin sama semua cewek?? Lo benar-benar tega, Gas!"
"Chelsea, gue nggak pernah mainin lo. Gue tulus sayang sama
lo." Bagas semakin putus asa.
"Cukup, Gas!" bentak Chelsea. "Lo nggak perlu
jelasin apa-apa lagi!"
Chelsea berbalik dan berlari menuju tempat mobilnya terparkir.
Bagas belum menyerah mengejar Chelsea. Saat Chelsea membuka pintu mobil, Bagas
kembali menahannya.
"Chelsea, lo nggak bisa menyetir dalam keadaan kayak
gini!" ucap Bagas.
"Bukan urusan lo!"
"Oke, lo boleh marah sama gue. Tapi tolong ijinin gue yang
bawa mobilnya. Biar gue yang antar lo pulang."
"Lo nggak usah sok peduli sama gue! Pergi jauh-jauh lo dari
gue!" kata Chelsea emosi.
Seseorang datang dan mendorong pelan tubuh Bagas. "Lo nggak
dengar kata Chelsea? Pergi lo!"
Chelsea menoleh untuk menatap orang yang kini berdiri di
sampingnya. Rafli, mantan pacar Chelsea.
"Rafli...?" ucap Chelsea pelan.
"Biar gue yang antar lo pulang," ucap Rafli lembut
sambil menuntun Chelsea ke pintu kiri mobil. Rafli membukakan pintu untuk
Chelsea.
Setelah Chelsea masuk ke mobil, Rafli kembali mendekati Bagas.
Rafli menatap Bagas dengan tajam.
"Gue harap lo nggak lupa sama ucapan gue dulu!" ucap
Rafli dingin, sebelum akhirnya dia masuk ke mobil dan mulai menjalankan
mobilnya. Meninggalkan Bagas sendiri.
Bagas masih diam mematung. Mengingat ucapan terakhir Rafli dulu.
"Gue udah ngelepasin Chelsea. Jadi mulai sekarang, lo yang
jagain dia. Buat dia bahagia dan jangan pernah sakitin dia! Karena kalo lo
sampe sakitin dia, gue nggak akan segan-segan rebut dia kembali dari lo."
Kata-kata itu kembali terputar di memorinya. Bagas tidak mau hal
itu terjadi. Dia tidak sanggup jika harus kehilangan Chelsea.
***
Rafli menyetir mobilnya dalam diam. Sementara Chelsea masih
menangis sesenggukan. Rafli jadi serba salah. Jika Chelsea masih pacarnya,
pasti Rafli akan langsung memeluknya dan menenangkannya. Tidak akan
membiarkannya menangis seperti ini.
Rafli menepikan mobilnya di tepi jalan. Ditatapnya Chelsea dengan
sedih. Chelsea masih menangis dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya.
Membuat Rafli semakin tidak tega melihatnya.
"Kalo lo mau, gue bisa pinjemin dada gue buat lo," ucap
Rafli lembut.
Chelsea membuka tangannya dan menatap Rafli. Tanpa jawaban apapun,
Chelsea langsung menghambur ke dalam pelukan Rafli. Tangisannya semakin
meledak.
Rafli mengangkat tangannya ragu, tapi kemudian dia memeluk
Chelsea. Membelai rambutnya lembut untuk sedikit menenangkannya. Rafli memilih
untuk diam. Walaupun hatinya bertanya-tanya apa yang telah dilakukan Bagas
hingga membuat Chelsea sampai menangis seperti ini?
Perasaan Rafli terhadap Chelsea belum berubah. Dia masih tetap
menyayangi gadis itu. Hingga dia pernah rela melepaskan Chelsea untuk seseorang
yang dicintai Chelsea. Tentunya agar Chelsea bahagia. Namun apa yang telah
dilakukan cowok itu??
’Dasar cowok brengsek!’ batin Rafli kesal.
***
Chelsea memasuki kamarnya. Setelah melempar tasnya sembarangan,
dia menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Chelsea menangkupkan wajahnya ke
bantal, menangis sepuasnya.
Hari ini dia sangat lelah. Bukan hanya tenaganya saja, tapi bahkan
hati dan pikirannya sangat lelah. Lelah memikirkan Bagas, seseorang yang telah
tega menyakitinya. Bagi Chelsea, Bagas tidak pernah berubah. Dia tetaplah
seorang playboy. Dan Chelsea adalah salah satu korbannya.
Tetapi kenapa Chelsea tetap tidak bisa membenci cowok itu? Dia
bahkan terlalu menyayangi cowok itu.
’Gue memang bodoh!’ batin Chelsea kesal.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Chelsea bangun dari tidurnya dan
mengambil ponselnya dari dalam tas. Ada panggilan dari Bagas. Tanpa berpikir,
Chelsea langsung me-reject panggilan dari Bagas, lalu dia menonaktifkan
ponselnya.
***
Bagas menghela napas panjang. Chelsea tetap tidak menjawab panggilannya.
Bagas meremas rambutnya. Hal yang sangat ditakutkan Bagas terjadi. Di saat
Bagas belum siap menceritakannya pada Chelsea, Chelsea justru mendengarnya
sendiri.
Chelsea pasti salah paham. Chelsea pasti menganggap kalau Bagas
hanya mempermainkannya. Dan Chelsea pasti menganggap kalau Bagas tidak
benar-benar menyayanginya. Dan sekarang semakin sulit bagi Bagas untuk
menjelaskan semuanya. Karena kesalahpahaman itu, Chelsea tidak mau berbicara
padanya.
Namun Bagas tidak bisa hanya berdiam diri di kelas saja. Dia
beranjak dari bangkunya dan pergi meninggalkan kelas.
"BAGAS!!! MAU KE MANA KAMU?!" seru Pak Oni yang tengah
mengajar kelas Bagas saat itu.
Bagas tetap berjalan tanpa menghiraukan panggilan Pak Oni.
***
Bagas sudah menekan bel rumah Chelsea dua kali. Bi Tati, pembantu
di rumah Chelsea, membukakan pintu untuk Bagas.
"Maaf, Bi... Chelseanya ada?" tanya Bagas to the point.
"Eh, Mas Bagas? Duduk dulu, Mas... Biar Bibi panggilkan
dulu," ucap Bi Tati yang dijawab oleh anggukan Bagas.
Sementara Bi Tati masuk ke dalam, Bagas menunggu di teras sambil
harap-harap cemas. Bagas berharap Chelsea mau menemuinya.
Tak lama kemudian, Bi Tati kembali dengan wajah kecewa.
"Maaf, Mas... Neng Chelseanya nggak mau keluar." Bi Tati merasa tidak
enak.
Dugaan Bagas benar. Chelsea tidak mau menemuinya. Bagas sadar,
kalau saat ini Chelsea masih emosi. Chelsea masih sangat marah padanya.
Menjelaskan apapun padanya, mungkin akan sia-sia. Mungkin Chelsea butuh waktu
untuk menenangkan dirinya.
"Tapi Chelsea baik-baik aja kan, Bi?" tanya Bagas cemas.
"Sebenernya... sejak pulang dari sekolah tadi, Neng Chelsea
belum keluar kamar," jelas Bi Tati.
Pertanyaan bodoh! Setelah semua yang terjadi, tidak mungkin
Chelsea baik-baik saja.
Bagas menghela napas. "Bi, tolong titip ini buat Chelsea
ya." Bagas memberikan satu buket mawar pink pada Bi Tati.
"Iya, Mas...," jawab Bi Tati sambil menerima bunga itu.
***
Chelsea menatap buket mawar dari Bagas. Mawar pink itu sangat
cantik. Andai saja hubungannya dengan Bagas masih baik-baik saja, Chelsea pasti
senang menerimanya. Tapi keadaannya sekarang sudah berubah.
Chelsea membuka kartu ucapannya dan mulai membacanya...
Chelsea...
Gue minta maaf buat semua yang terjadi hari ini.
Gue tahu, apapun yang akan gue jelaskan sekarang, lo nggak akan percaya.
Tapi satu yang perlu lo tahu, gue tulus sayang sama lo...
Miss u...
Bagas
Perasaan hangat itu mulai terasa dalam hati Chelsea. Keraguan yang
sempat menghinggapinya sedikit menghilang. Tetapi Chelsea bingung harus
mempercayainya atau tidak.
Suara ketukan pintu terdengan untuk kedua kalinya.
"Neng, ada yang nyari Neng Chelsea!" teriak Bi Tati dari
balik pintu kamar.
"Bi, saya kan udah bilang nggak mau ketemu sama Bagas!"
seru Chelsea.
"Bukan Mas Bagas, Neng. Tapi kali ini yang nyari
perempuan!"
Chelsea membuka pintu kamarnya. "Siapa, Bi?"
"Bibi lupa nggak tanya namanya siapa. Tapi sepertinya baru
pertama kalinya dia ke sini, Neng..."
Chelsea berpikir, siapa tamu yang datang menemuinya? Nggak mungkin
Angel atau Marsha. Kalau Angel atau Marsha, pasti Bi Tati mengenalinya.
Daripada penasaran, lebih baik Chelsea menemuinya.
Chelsea berjalan menuruni tangga dan menuju ruang tamunya. Sesaat
dia mematung ketika melihat seseorang yang kini duduk di sofa ruang tamunya.
Cindai, Seseorang yang enggan Chelsea temui. Mau menghindar, tapi Cindai sudah
terlanjur melihatnya.
"Hai, Chelsea!" sapa Cindai sambil tersenyum.
"Hai...!" balas Chelsea kaku.
Chelsea menghampiri Cindai dan duduk di sofa. "Ada perlu apa
lo datang ke sini?" tanya Chelsea datar.
Cindai tersenyum. "Lo pasti tahu, maksud kedatangan gue ke
sini."
Chelsea tetap diam.
"Lo juga pasti tahu kan, kalau gue adalah calon tunangan
Bagas?" tambah Cindai.
Chelsea tidak menyahut. Pertanyaan itu semakin menggores hati
Chelsea. Rasanya sangat perih.
Cindai menghela napas. "Oke. Gue to the point aja. Maksud
kedatangan gue ke sini adalah... untuk meminta lo menjauhi Bagas. Lo harus
tahu, kalau orang tua gue dan orang tua Bagas, udah menjodohkan kita. Dan
sebentar lagi kita bertunangan. Sementara lo cuma pacarnya kan? Jadi... Gue
lebih berhak atas Bagas," jelas Cindai panjang lebar. "Dan... kalau
lo tahu diri, putusin Bagas sekarang juga!"
Chelsea berusaha sekuat tenaga agar air matanya tidak menetes.
"Lo tenang aja! Tanpa lo minta pun, gue akan jauhin dia. Dan satu hal yang
perlu lo tahu, hubungan gue sama Bagas...," Chelsea menggantung ucapannya,
sangat berat untuk mengatakannya. Chelsea memejamkan matanya sesaat, lalu
membukanya kembali. "Hubungan gue sama Bagas... memang udah
berakhir," lanjutnya kemudian.
Cindai tersenyum puas. "Baguslah kalau lo sadar. Gue pegang
omongan lo." Cindai berdiri. "Gue pulang dulu," pamitnya lalu
berjalan pergi.
Setelah kepergian Cindai, Chelsea menumpahkan air mata yang sejak
tadi di tahannya. Hubungannya dengan Bagas... benar-benar berakhir.
***
Bagas berdiri di depan kelas Chelsea. Sudah tiga hari ini Chelsea
selalu menghindarinya dan tidak mau berbicara padanya. Maka dari itu Bagas
sengaja menunggu Chelsea di depan kelas.
Lima menit Bagas menunggu, dia melihat Chelsea dari kejauhan.
Bagas menatap sedih Chelsea. Namun Chelsea berpura-pura tidak melihat.
’Kenapa wajah lo pucat banget, sayang?’ tanya Bagas dalam hati.
Chelsea berjalan mendekat dan hendak memasuki kelas, tapi tangan
Bagas segera menahannya. "Chelsea, tunggu!"
Chelsea menatap Bagas dengan amarah. "Lepasin tangan
gue!"
"Kita harus bicara, Chel..." Bagas memohon.
"Mau bicara apalagi? Nggak ada yang perlu dibicarain
lagi." Chelsea berkata dingin.
"Tolong, Chel! Kasih gue waktu sebentar aja!"
"Lepasin tangan gue atau gue teriak sekarang!" ancam
Chelsea.
Bagas menyerah, dia melepaskan tangan Chelsea. Mungkin bukan saat
yang tepat untuk berbicara di sekolah.
Chelsea berbalik dan masuk ke kelasnya. Bagas juga berniat
meninggalkan kelas Chelsea, namun...
"CHELSEA!!!"
Teriakan dari dalam kelas Chelsea membuat Bagas menoleh.
Dilihatnya Chelsea jatuh pingsan ke lantai.
"CHELSEA!" teriak Bagas sambil berlari mendekati
Chelsea.
Bagas duduk berlutut di dekat Chelsea dan mengangkat kepala
Chelsea. "Chelsea! Bangun, Chelsea!" seru Bagas panik.
"Chel...! Bangun, Chel!" Angel ikutan panik.
"Biar gue yang bawa dia ke UKS." Bagas menggendong tubuh
Chelsea dan membawanya ke UKS.
Angel, Marsha, dan beberapa teman Chelsea yang lain mengikuti dari
belakang. Sesampainya di UKS, Bagas membaringkan tubuh Chelsea di salah satu
tempat tidur.
"Ini semua gara-gara lo tahu, nggak?" semprot Marsha
tiba-tiba pada Bagas.
"Sha, di saat kayak gini lebih baik lo jangan salahin orang!
Kita fokus dulu ke Chelsea!" Angel menengahi, lalu menatap Bagas.
"Gas, lo keluar dulu! Gue mau kasih minyak angin ke Chelsea."
Bagas mengangguk dan keluar dari UKS. Dari luar, Bagas menunggu
dengan cemas. Hanya butuh waktu beberapa menit, Anggel dan Marsha keluar UKS.
"Gas, gue sama Marsha mau beli teh hangat buat Chelsea.
Tolong jagain Chelsea sebentar ya!" ucap Angel.
Bagas mengangguk. "Oke."
Bagas masuk ke dalam UKS dan duduk di kursi samping tempat tidur
Chelsea. Chelsea tetap belum sadarkan diri. Melihat keadaan Chelsea, Bagas
semakin merasa bersalah. Digenggamnya satu tangan Chelsea dengan lembut.
"Chelsea, maafin gue...! Lo jadi seperti ini karena gue. Gue
memang cowok brengsek yang nggak pantas jadi pacar lo," ucap Bagas penuh
penyesalan. "Gue cuma bisa buat lo nangis, bahkan sekarang lo sakit karena
gue. Maafin gue, Chel..."
Bagas terus menatap wajah pucat Chelsea. Tangan Bagas yang lain
membelai rambut Chelsea lembut.
"Tentang perjodohan itu... sama sekali bukan karena keinginan
gue. Orang tua gue yang berniat menjodohkan gue sama Cindai, begitu pun
sebaliknya. Sebenarnya gue mau memberitahukan hal ini sama lo, tapi gue butuh
waktu. Gue cuma takut kehilangan lo, Chel...," jelas Bagas. Tanpa terasa
air matanya menetes.
Bagas tidak peduli apakah Chelsea mendengar ucapannya atau tidak.
Dia sudah putus asa karena sejak kemarin Chelsea selalu menghindarinya.
"Gue nggak meminta lo buat percaya sama gue. Tapi perasaan
gue ke lo tulus, Chel. Gue nggak pernah punya niat sedikit pun buat mainin lo.
Gue sayang sama lo..."
Bagas berdiri dan membungkukkan tubuhnya. Dia mengecup kening Chelsea
dengan lembut, lalu ditatapnya wajah Chelsea. Chelsea tetap belum sadarkan
diri. Hingga air mata Bagas jatuh ke pipi Chelsea.
Bagas menegakkan badannya kembali. Buru-buru Bagas mengelap air
matanya dengan tangan. Setelah itu Bagas keluar UKS. Dia berniat untuk mencuci
mukanya agar tidak seorang pun tahu kalau dia habis menangis.
***
Chelsea membuka matanya. Ucapan Bagas tadi membuat air mata
Chelsea kembali menetes. Ya... Chelsea sebenarnya sudah sadar sejak tadi, saat
Bagas bersamanya. Dan Chelsea mendengar semuanya.
Sejak membaca kartu ucapan dari Bagas, keraguan di hatinya sedikit
demi sedikit menghilang. Penjelasan dari Bagas barusan juga membuat hatinya
semakin yakin bahwa Bagas tulus menyayanginya.
Tapi kini hati Chelsea menjadi bimbang. Dia sangat menyayangi
Bagas, tapi kini Bagas akan menjadi milik orang lain. Dia juga sudah berjanji
pada Cindai bahwa dia akan menjauhi Bagas. Tapi apa dia sanggup melakukannya?
"Chelsea, lo udah sadar?"
Suara Marsha menyentakkan lamunan Chelsea. Chelsea hanya menanggapinya
dengan senyum.
"Bagas mana? Gue suruh dia jagain lo kok malah pergi?"
tanya Angel sedikit marah.
"Dia tadi di sini kok. Tapi udah gue suruh pergi," jawab
Chelsea berbohong.
"Ya udah, lo minum teh hangat dulu ya, biar enakan. Habis
itu, lo makan bubur ayamnya!"
Angel membantu Chelsea duduk bersandar dengan bantal. Lalu Chelsea
meminum teh hangat yang diberikan Angel.
"Sekarang di makan buburnya!" perintah Marsha.
"Makasih ya...," ucap Chelsea tulus, lalu mulai memakan
bubur ayamnya. Meski dia tak selera makan, Chelsea memaksakan dirinya untuk
tetap makan.
***
Chelsea turun dari tempat tidur dengan dibantu Angel dan Marsha.
"Lo yakin mau tetap ikut pelajaran?" tanya Marsha.
Chelsea mengangguk dan tersenyum. "Gue udah nggak apa-apa
kok," ucap Chelsea meyakinkan.
Meski ragu, Angel dan Marsha tetap menuntun Chelsea ke luar UKS.
Saat sampai di pintu, mereka berpapasan dengan Bagas. Wajah Chelsea berubah
saat melihat Bagas tiba-tiba. Tapi dia langsung mengalihkan pandangannya ke
tempat lain.
"Ngel, Sha, bisa kasih waktu gue sama Chelsea sebentar?"
tanya Bagas memohon pada Angel dan Marsha.
Marsha menunjukkan wajah tak sukanya. "Mau apa lagi sih
lo?" tanyanya ketus.
"Kalian ke kelas duluan aja! Nanti gue nyusul," ucap
Chelsea menengahi.
Angel dan Marsha menatap Chelsea tak percaya. Tapi mereka
menyadari bahwa Chelsea butuh waktu berbicara dengan Bagas.
"Awas aja kalo sampai Chelsea kenapa-kenapa lagi!" ancam
Angel sebelum akhirnya keluar kelas bersama Angel.
Suasana hening sejenak. Chelsea dan Bagas sama-sama bingung untuk
memulai pembicaraan.
"Lo udah baikan?" tanya Bagas membuka pembicaraan.
"Sebenarnya.... keadaan gue jauh lebih baik sebelum
kedatangan lo ke sini," jawab Chelsea dingin.
Bagas merasakan sakit mendengar ucapan Chelsea. Benarkah Chelsea
sudah sangat membencinya? Benarkah akan lebih baik jika Bagas menjauh dari
Chelsea?
"Lo mau ngomong apa?" tanya Chelsea, tetap dingin.
"Gue... mau minta maaf..."
"Gue udah maafin lo. Udah kan?" Chelsea hendak pergi,
tapi tangannya ditahan oleh Bagas.
"Apa hubungan kita harus berakhir seperti ini?" tanya
Bagas sedih.
Chelsea menatap Bagas tajam. "TERUS LO MAU GIMANA?? LO AKAN
JADI TUNANGAN ORANG LAIN, GUE HARUS GIMANA?!" bentak Chelsea.
Sesaat Bagas terdiam. "Gue akan membatalkan perjodohan
itu."
"Lo kalo ngomong jangan ngaco deh!" Chelsea menarik
tangannya kasar dan berniat pergi.
"Bukannya waktu di pantai lo pernah janji sama gue, bahwa
apapun yang terjadi... lo nggak akan ninggalin gue?"
Chelsea terdiam. Mengingat janjinya saat di pantai.
"Ya... itu sebelum gue tahu, kalau lo akan bertunangan dengan
Cindai. Tapi sekarang keadaannya udah berbeda." Chelsea meneteskan air
matanya. "Maaf... gue nggak bisa menepati janji itu. Dan tolong jangan
temuin gue lagi! Hubungan kita udah berakhir."
Setelah ucapannya itu, Chelsea meninggalkan Bagas sendiri. Bagas
diam mematung, tidak lagi mengejar Chelsea. Hatinya terasa sakit dan perih
mendengar ucapan terakhir Chelsea. Apakah ini rasanya patah hati?
Bagas sadar kalau selama ini dia sering mempermainkan perasaan cewek.
Apakah rasa sakit ini yang dirasakan oleh semua cewek yang pernah jadi
pacarnya? Apakah kini dia mendapat karma dari semua perbuatannya?
***
Chelsea menatap undangan berwarna pink di tangannya. Di mana di
dalamnya tertulis nama Bagas Rahman Dwi Saputra dan Cindai Gloria Lagio.
Undangan pertunangan Bagas dan Cindai. Baru saja Cindai yang memberikannya.
Pertunangan mereka akan dilaksanakan dua minggu lagi.
"Apa lo mau datang?" tanya Rafli yang tiba-tiba duduk di
sebelah Chelsea.
Chelsea menoleh, lalu tersenyum. "Kenapa gue mesti nggak
datang?" Chelsea balik tanya.
"Lo yakin?" tanya Rafli ragu.
Chelsea mengangguk. "Gue udah diundang dan itu artinya gue
harus datang," jawabnya sambil tersenyum.
Rafli menghela napas. Terlihat jelas sekali kalau Chelsea
pura-pura tersenyum.
"Oh iya, lo mau jadi pasangan gue di acara pertunangan mereka
besok?" tanya Chelsea berharap.
"Jangankan cuma pasangan di acara pertunangan, jadi pasangan
yang beneran aja gue mau kok," jawab Rafli sambil tertawa, tapi dia
serius.
Chelsea terdiam sambil menatap Rafli serba salah. Dulu dia pernah
mengecewakan cowok itu dengan lebih memilih Bagas. Tapi kenapa Rafli tidak
membencinya? Bahkan sekarang dia selalu ada di saat Chelsea merasa sedih.
"Chel, jujur... gue masih belum bisa melupakan lo. Sampai
sekarang pun, perasaan gue ke lo belum berubah. Gue masih sangat menyayangi lo.
Dulu... gue memang udah melepaskan lo demi Bagas, orang yang lo cintai. Tapi
apa yang udah dilakukan Bagas sama lo? Dia malah nyakitin lo dan bikin lo sedih
kayak gini."
Chelsea diam dan tidak merespon apapun ucapan Rafli.
"Gue tahu, ini bukan waktu yang tepat. Tapi... gue masih
berharap lo kembali sama gue," lanjut Rafli.
"Raf..."
"Gue nggak meminta lo buat jawab sekarang. Gue akan tunggu
jawabannya sampai lo benar-benar siap." Rafli mengeluarkan sesuatu dari
saku celananya dan memberikannya ke tangan Chelsea.
Chelsea menatap benda itu. Sebuah kalung silver dengan liontin
berbentuk hati.
"Sebenarnya gue mau kasih kalung ini dari dulu, tapi ternyata
waktu itu hati lo udah buat orang lain." Rafli tertawa kecil, lalu
melanjutkan, "kalau lo terima gue lagi, lo bisa pakai kalung ini. Tapi...
kalau lo nolak gue, lo bisa kembaliin lagi kalung ini ke gue."
"Raf, sebelumnya... terima kasih karena lo masih begitu baik
sama gue. Tapi gue nggak mau memberikan harapan lagi ke lo. Gue akan kasih
jawabannya sekarang juga. Gue..." Chelsea menggantung ucapannya cukup
lama. "Minta maaf karena nggak bisa menerima lo kembali. Gue nggak mau
ngecewain lo lagi. Gue nggak mau nyakitin lo lagi. Lagi pula... hati gue
sekarang... udah buat orang lain."
Chelsea mengembalikan kalung itu kembali pada Rafli. Rafli
tersenyum pahit. Dia memang kecewa dengan penolakan Chelsea. Tapi dia mengerti,
kalau di hati Chelsea masih terukir nama Bagas. Dan sampai kapan pun, dia tidak
bisa menggantikannya.
"Oke nggak apa-apa. Gue ngerti." Rafli tersenyum.
"Sekali lagi, maafin gue ya? Lo udah sangat baik sama gue.
Dan lo pantas dapat cewek yang lebih baik dari gue."
Rafli mengangguk dan tersenyum. "Lo nggak perlu minta maaf.
Perasaan itu nggak bisa dipaksa kan?"
Chelsea merasa tidak enak kepada Rafli. Dia memang bodoh karena
sudah dua kali melepasnya. Demi Bagas! Cowok brengsek yang sudah membuatnya
terluka. Tetapi cowok brengsek itu tidak mau pergi dari hatinya. Hatinya masih
tetap milik Bagas. Dan bodohnya lagi, Chelsea tidak bisa membencinya.
"Dan lo tenang aja, walaupun lo udah nolak gue, gue masih
tetap mau kok jadi pasangan lo di acara pertunangan Bagas," ucap Rafli
sambil tertawa kecil, yang disambut oleh Chelsea dengan tawa juga.
***
Dua minggu kemudian...
Rafli menjemput Chelsea di rumahnya. Chelsea langsung keluar
begitu Rafli menekan bel rumah Chelsea dua kali. Malam ini Rafli terlihat
sangat tampan dengan setelan jas warna hitam. Tidak hanya malam ini, semua anak
satu sekolah juga tahu kalau pada dasarnya Rafli sudah ganteng dan
penampilannya selalu rapi. Tapi buat malam ini, dia terlihat 99% lebih perfect
dari biasanya. Chelsea mengakui itu.
Sementara Chelsea mengenakan gaun warna putih dan high heels dengan
warna yang senada dengan gaunnya. Rambut panjangnya dibiarkan terurai.
"Seperti biasa, lo cantik," celetuk Rafli tiba-tiba saat
mereka sudah dalam perjalanan.
Chelsea menoleh sambil tersenyum. "Jangan puji-puji gue!
Nanti lo semakin jatuh cinta sama gue." Chelsea mencoba bergurau. Padahal
dia sangat gugup akan menghadiri pertunangan Bagas.
Rafli hanya tersenyum. Setelah itu mereka tidak terlalu banyak
bicara. Chelsea sibuk dengan pikirannya sendiri. Bertanya-tanya, apakah dia
sudah siap melihat Bagas melingkarkan sebuah cincin di jari gadis lain?
Semakin mendekati rumah Cindai, Chelsea semakin ragu. Rafli yang
sejak tadi curi-curi pandang ke wajah Chelsea, sangat memahami kalau Chelsea
sedang gelisah. Pasti tidak mudah buat Chelsea untuk melihat seseorang yang
dicintainya, akan terikat dengan gadis lain.
Rafli menghentikan mobilnya di tepi jalan, membuat Chelsea
bingung.
"Kenapa berhenti?" tanya Chelsea bingung.
"Mumpung kita belum sampai di rumah Cindai, gue akan tanya
sekali lagi sama lo, apa lo benar-benar sudah siap menyaksikan pertunangan
mereka?" Rafli bertanya.
Chelsea terdiam. Dia masih bingung.
"Kalau lo memang nggak siap, lebih baik kita nggak usah
datang. Gue akan antar lo pulang sekarang," lanjut Rafli.
"Eh, jangan!" Buru-buru Chelsea mencegah. "Gue akan
tetap datang," jawabnya mantap.
Rafli menghela napas. Baiklah, dia menuruti permintaan gadis itu.
Gadis yang sampai saat ini masih mengisi hatinya.
***
Para tamu undangan sudah banyak yang hadir meramaikan acara
pertunangan Bagas dan Cindai. Pesta pertunangan itu berada di taman belakang
rumah Cindai yang luas. Lampu-lampu hias sudah ditata sedemikian rupa di
pohon-pohon. Beraneka macam bunga pun sudah tertata indah hampir memenuhi
seluruh ruangan. Ditambah suara piano indah yang membuat suasana semakin
romantis.
Rafli terus menggenggan tangan Chelsea. Berusaha memberikan
kekuatan pada gadis itu. Tangan Chelsea sangat dingin. Wajahnya terlihat sekali
kalau dia sangat gugup.
Chelsea bisa melihat Bagas dari kejauhan. Bagas memakai setelan
jas warna putih. Di sebelahnya, Cindai juga terlihat sangat cantik dengan gaun
warna putih. Wajah Cindai riang saat menyapa para tamu undangan yang datang.
Berbeda sekali dengan Bagas yang lebih banyak menunduk.
Bagas yang sejak tadi tertunduk, mengangkat wajahnya. Tepat pada
saat itu, dia melihat Chelsea. Mereka saling bertatapan. Tapi tidak lama,
karena Chelsea buru-buru mengalihkan pandangannya.
Acara di mulai saat MC membuka acara. Dilanjutkan dengan beberapa
sambutan dari tuan rumah dan papa Bagas. Bagas tidak terlalu peduli. Sejak
kedatangan Chelsea, pandangan Bagas terus tersita pada Chelsea. Hingga
sampailah pada acara inti.
"Ya.... akhirnya tiba juga saat yang sudah kita tunggu-tunggu
sejak tadi," seru MC riang sambil menatap ke arah Bagas dan Cindai.
"Bagas, sekarang kamu bisa lingkarkan cincin di jari manis
Cindai...," ucap MC dengan wajah berbinar-binar.
Bagas menghela napas pelan. Ditatapnya kembali Chelsea, dengan
tatapan kesedihan, terlihat memohon. Lagi-lagi Chelsea mengalihkan pandangannya
ke tempat lain.
"Bagas...!" panggil Cindai pelan, saat perhatian Bagas
tidak tertuju padanya.
Bagas menoleh, sedikit kaget.
"Ayo, kamu pasangkan cincinnya!" ucap Cindai berbisik.
Dan lagi-lagi Bagas menghela napas. Diraihnya tangan kiri Cindai.
Bagas menatap tangan itu sejenak, lalu mengangkat tangan kanannya dengan ragu.
Ragu akan memasangkan cincin itu atau tidak.
Bagas mendekatkan cincinnya ke jemari Cindai. Saat cincin itu
sudah di ujung jari manis Cindai, Bagas berhenti. Dia tetap ragu. Hingga cincin
itu terlepas dari tangannya dan terjatuh. Cincin itu menggelinding dan
arahnya... semakin lama semakin mendekati Chelsea. Cincin itu baru berhenti
saat menyentuh ujung sepatu Chelsea.
Wajah Chelsea langsung pucat. Semua mata tertuju padanya. Dengan
ragu, dia mengambil cincin itu. Chelsea kembali berdiri, hendak memberikan
cincin itu pada pemiliknya. Tapi langkahnya terhenti ketika Bagas sudah
berjalan mendekat.
Bagas terus berjalan, matanya tidak lepas dari wajah Chelsea.
Chelsea yang ditatap seperti itu, langsung salah tingkah. Bagas berhenti saat
jarak mereka tinggal dua langkah. Suasana menjadi hening.
Lalu Bagas berbalik menghadap ke semua tamu undangan. Menatap
bergantian orang tuanya, orang tua Cindai, dan Cindai.
"Sebelumnya... saya mau minta maaf kepada semua tamu
undangan. Terutama pada Papa, Mama, Oom Yusuf, Tante Sonya, dan..." Bagas
menatap Cindai. "Cindai..."
Suasana yang awal ceria, berubah menjadi hening. Semuanya menunggu
kelanjutan ucapan Bagas.
"Maaf... kalau... saya nggak bisa melanjutkan pertunangan
ini," lanjut Bagas akhirnya.
Semua orang sangat terkejut dengan ucapan Bagas yang tiba-tiba.
Detik selanjutnya, banyak orang yang berbisik-bisik tidak jelas. Orang tua
Bagas dan orang tua Cindai terlihat sangat shock. Dan Cindai, matanya sudah
mulai berkaca-kaca.
"Bagas, apa yang kamu lakukan?" Pak Erlangga terlihat
marah.
"Maaf... tapi ini udah menjadi keputusan saya. Saya nggak
bisa melanjutkan pertunangan ini, karena saya sudah mempunyai seseorang yang
sangat saya sayangi."
Ucapan Bagas membuat Chelsea yang sejak tadi menunduk, kembali
mendongak.
"Seseorang itu adalah...," Bagas menggantung ucapannya,
lalu menatap Chelsea. Perlahan Bagas meraih tangan Chelsea dan menggenggamnya
lembut. "Orang yang ada di samping saya saat ini. Namanya Chelsea."
lanjut Bagas mantap.
Bagas kembali ke arah Pak Erlangga. "Maaf, Pa. Bagas udah
berusaha mengikuti kemauan Papa, tapi Bagas nggak bisa. Bagas sangat menyayangi
Chelsea."
Pak Erlangga tak bisa berkata apa-apa, tapi terlihat jelas amarah
dari matanya.
Bagas menatap Pak Yusuf dan Tante Sonya. "Dan maaf, Oom
Yusuf, Tante Sonya... Bagas udah mengecewakan kalian." Bagas berganti
menatap Cindai. "Cindai, maafin gue. Gue tahu lo pasti juga kecewa dan
marah sama gue. Tapi cinta nggak bisa dipaksa kan? Lo adalah gadis yang baik.
Gue yakin lo bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari gue."
Cindai yang sudah menangis, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia
berlari meninggalkan acara karena menahan malu.
Dan Bagas, tanpa berkata apa-apa lagi, berlari meninggalkan acara
itu juga sambil menarik tangan Chelsea. Chelsea yang masih shock dengan ucapan
Bagas, merasa kewalahan mengikuti langkah Bagas. Bagas membawa Chelsea sampai
ke jalan depan rumah Cindai.
Tiba-tiba Chelsea menarik tangannya. Langkah Bagas berhenti, lalu berbalik
menatap Chelsea bingung.
"Gas, lo sadar nggak sih, kalau yang lo lakuin itu
benar-benar gila?" tanya Chelsea marah.
"Gila gimana?" Bagas balik tanya.
"Lo nggak bisa meninggalkan acara pertunangan lo gitu aja.
Apa lo nggak memikirkan perasaan orang tua lo, orang tua Cindai, dan terutama
Cindai. Mereka pasti malu dengan sikap lo yang kayak gini. Dan gue yakin...
sekarang Cindai pasti lagi sedih banget, Gas. Jadi lebih baik, lo temuin Cindai
sekarang!"
Bagas menatap Chelsea tak percaya. "Gue nggak ngerti sama
pemikiran lo, Chel. Gue melakukan semuanya buat lo. Gue membatalkan pertunangan
ini demi lo. Karena gue sayang sama lo, Chel. Dan lo mau gue pergi lagi buat
temuin Cindai?"
Mata Chelsea mulai berkaca-kaca. Dia bingung harus merasakan apa.
Bahagia? Jelas dia bahagia karena Bagas lebih memilihnya dan Bagas membuktikan
kalau dia menyayanginya. Tapi dia tidak mau bahagia di atas penderitaan orang
lain.
Saat ini Cindai pasti sedang sedih, malu, dan terluka karena Bagas
membatalkan pertunangannya. Chelsea merasa jahat jika dia pergi bersama Bagas
sekarang.
Pada saat yang bersamaan, Rafli datang mendekati Chelsea dan
Bagas. Melihat Rafli, muncul sebuah ide di kepala Chelsea.
"Raf, ayo kita pulang!" Chelsea menarik tangan Rafli,
tapi dengan cepat Bagas menahan tangan Chelsea yang lain.
"Chelsea! Kita belum selesai bicara!" kata Bagas
cepat-cepat.
"Pembicaraan kita udah selesai. Kita udah nggak ada urusan
apa-apa lagi. Jangan pernah temui gue lagi! Karena sekarang... gue lebih
memilih kembali pada Rafli," ucap Chelsea tegas.
Bagas langsung terdiam. Menatap Chelsea tak percaya. Perlahan...
genggamannya pada tangan Chelsea, terlepas begitu saja.
"Gue nggak percaya!"
"Terserah lo mau percaya atau nggak. Tapi ini keputusan gue.
Jadi... gue berharap, lo jangan pernah... ganggu gue lagi," ucap Chelsea
terbata. Air mata yang sejak tadi menggenang di matanya, mulai menetes.
"Gue pulang dulu."
Chelsea kembali menarik tangan Rafli untuk pergi. Meninggalkan
Bagas yang masih diam mematung. Bagas tidak mengejar. Hanya menatap gadis yang
sangat disayanginya dari belakang, yang sedang menggandeng tangan cowok lain,
sampai hilang dari pandangannya.
***
Seminggu setelah pertunangan Bagas dan Cindai batal...
Chelsea duduk diam di sofa. Layar televisi menyala, tetapi pandangan
Chelsea kosong. Seperti sedang berada di tempat lain.
Suara Bi Tati mendadak mengagetkannya. Menyadarkan Chelsea ke alam
nyata.
"Ada apa, Bi?" tanya Chelsea.
"Ada yang nyari, Neng...," jawab Bi Tati menggantung.
Chelsea mengerutkan keningnya. "Siapa?"
"Lebih baik Neng liat langsung sendiri ke depan deh!" Bi
Tati tersenyum penuh arti.
Tanpa bertanya lebih banyak lagi, Chelsea meletakkan remote tv di
meja dan segera berdiri. Dia berjalan cepat sampai ke pintu depan karena
penasaran. Saat sampai di pintu, langkah Chelsea terhenti.
Hanya menatap seseorang yang tengah berdiri memunggunginya,
Chelsea sudah bisa menebak siapa orang itu. Seseorang yang amat dirindukannya.
Bagas.
"Bagas...!" panggil Chelsea pelan.
Bagas berbalik dan menghadap Chelsea, lalu tersenyum. Chelsea
terpana sesaat. Sudah lama dia tidak melihat senyum itu. Senyum yang sangat
dirindukannya.
"Mau apa lo ke sini?" tanya Chelsea, berusaha
mengeluarkan suara sedingin mungkin.
"Gue udah dengar dari Rafli, kalau sebenarnya kalian nggak
pacaran." Bagas tersenyum.
Chelsea menatap Bagas marah. Ya... memang sebelumnya Chelsea
berbohong. Dia pernah mengatakan pada Bagas bahwa dia sudah kembali pada Rafli.
Padahal kenyataannya sampai sekarang mereka hanya berteman.
Bagas mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Gue cuma mau
mengembalikan ini." Bagas meraih tangan Chelsea dan memberikannya pada
gadis itu.
Chelsea menatap benda itu. Ternyata gelang pemberiannya dulu.
Chelsea kembali menatap Bagas meminta penjelasan. Dia sedikit kecewa karena
Bagas mengembalikannya. Apa Bagas sudah menyerah untuk tidak mengejarnya lagi?
"Gue nggak akan memaksa lagi. Sekarang semuanya terserah
lo," ucap Bagas, lalu menghela napas. "Dulu gelang ini rusak. Tapi
udah gue perbaiki, karena gue mau berusaha buat memperbaiki hubungan kita lagi.
Sekarang gue kembaliin gelang ini ke lo, bukan berarti gue menyerah. Tapi gue
memilih untuk menunggu. Satu minggu, satu bulan, satu tahun, atau bahkan
sepuluh tahun... gue akan tetap menunggu lo," lanjut Bagas sambil menatap
Chelsea dalam.
Suasana hening sejenak.
"Sampai lo yakin dengan jawaban lo, dan lo mau kembali sama
gue, lo bisa kasih gelang itu lagi ke gue," ucap Bagas lembut sambil
tersenyum manis. Lalu mengacak-acak lembut puncak kepala Chelsea.
Chelsea masih diam. Matanya berkaca-kaca. Dia sangat bahagia
mendengar ucapan Bagas. Dia ingin sekali melompat ke pelukan Bagas, tapi dia
menahannya. Bagas memang benar, Chelsea butuh waktu untuk berpikir.
"Gue pulang dulu...," pamit Bagas.
Bagas menatap Chelsea sejenak, tersenyum lagi, lalu berbalik pergi
meninggalkan Chelsea.
Chelsea tetap diam di tempatnya. Menatap Bagas sampai cowok itu
melesat pergi dengan motornya. Lalu Chelsea berganti menatap gelang itu.
Setelah semua yang terjadi, tentunya tidak mudah bagi Chelsea untuk menerima Bagas
kembali. Dia butuh waktu untuk berpikir.
***
Awalnya Chelsea mengira akan mudah bagi dia untuk menjalani
hari-hari seperti biasanya tanpa Bagas. Tapi justru sebaliknya. Semakin dia
berusaha melupakan Bagas, dia semakin merindukan cowok itu.
Seperti saat berangkat sekolah hari ini, Chelsea sengaja tidak
membawa mobil. Dia memilih naik bus. Mengingat kenangan bersama Bagas dulu saat
mereka naik bus. Dan saat pulang, dia juga berniat naik bus.
Setengah jam menunggu, Chelsea baru mendapatkan bus setelah semua
bus yang dia stop sebelumnya penuh penumpang. Tidak mudah mendapatkan bus di
saat-saat jam pulang sekolah.
Chelsea naik ke bus dan dia mendapatkan tempat duduk di samping
jendela. Chelsea menatap jalanan dari jendela bus.
Seseorang duduk di samping Chelsea. Membuat Chelsea mengalihkan
pandangannya dari jalanan, ke seseorang yang duduk di sampingnya. Chelsea
terkejut sesaat, tapi kemudian dia berusaha bersikap sebiasa mungkin.
Seseorang yang duduk di sampingnya adalah seseorang yang sejak
tadi ada dalam pikirannya. Juga seseorang yang sangat dirindukannya. Bagas.
Bagas tersenyum seperti biasa. Chelsea juga hanya balas tersenyum.
Dan Chelsea tidak perlu mengingat kenangan bersama Bagas dulu. Karena kini
orang itu telah duduk bersamanya, di dalam bus yang sama, dan di bangku yang
sama. Sama seperti dulu.
Meski tak sepatah kata pun terucap dari bibir mereka, meski tidak
ada obrolan di antara mereka, sudah cukup bagi Chelsea untuk sedikit mengobati
kerinduannya pada Bagas. Bahkan Chelsea berharap bisa lebih lama lagi berada di
samping cowok itu.
Tapi sayangnya harapan Chelsea tidak terkabul. Kompleks perumahan
rumah Chelsea sudah terlihat. Artinya sebentar lagi Chelsea akan sampai.
Chelsea baru akan membuka mulutnya, ketika tiba-tiba Bagas
berteriak, "Minggir, Bang!"
Sopir bus menepikan busnya tepat di depan kompleks perumahan
Chelsea. Bagas berdiri dan memberikan jalan untuk Chelsea. Chelsea ikut
berdiri, lalu dia berlalu di hadapan Bagas tanpa mengucapkan apapun. Chelsea
turun dari bus dan berjalan memasuki ke perumahan.
Ketika berjalan, Chelsea merasa ada seseorang yang mengikutinya.
Akhirnya dia menoleh ke belakang.
Chelsea melotot dan menghentikan langkahnya. "Bagas? Lo
ngikutin gue?"
Bagas tersenyum. "Jujur gue nggak tega membiarkan lo pulang
sendirian naik bus. Makanya gue ngikutin lo. Gue cuma mau mengantar lo sampai
depan rumah aja. Memastikan kalau lo pulang dengan aman. Setelah itu gue
langsung pulang."
Chelsea terdiam. Cewek mana yang tidak terbang diperlakukan
seperti itu? Semua ucapan dan perlaku Bagas membuat hati Chelsea luluh. Selain
Bagas menunjukkan rasa pedulinya pada Chelsea, Bagas juga membuktikan kalau dia
sungguh-sungguh ingin memperbaiki hubungan mereka.
"Gue nggak harus berjalan di samping lo. Cukup di belakang lo
aja. Boleh ya?" Bagas memohon.
Chelsea mengangguk, lalu berbalik dan kembali berjalan.
Bagas tetap berjalan di belakang Chelsea. Menatap punggung gadis
itu. Rambut panjangnya terbang tertiup angin. Andai saja semuanya kembali
seperti dulu, Bagas ingin sekali berjalan di samping Chelsea, menggenggam erat
tangannya agar gadis itu tidak pergi.
Chelsea sampai di depan rumahnya. Dia berbalik menghadap Bagas.
"Makasih ya...," ucapnya lembut.
Bagas mengangguk. "Besok kalau lo mau naik bus lagi, lo kasih
tahu gue, biar gue temanin," ucapnya, lalu tersenyum.
Chelsea tersenyum dan mengangguk, lalu berjalan memasuki halaman
rumahnya. Saat Chelsea sudah memasuki rumahnya, Bagas berlalu pergi.
Hati Bagas berbunga-bunga karena sepertinya Chelsea perlahan mulai
menerimanya. Tidak apa-apa. Bagas akan terus bersabar, sampai Chelsea bisa
sepenuhnya membuka hatinya kembali.
***
Tiga bulan kemudian...
Bagas menghentikan motornya di samping gerobak siomay
langganannya. Sudah lama sekali Bagas tidak mampir. Kebetulan saat lewat, dia
mendadak ingin makan siomay itu.
"Bang, siomay satu ya!" kata Bagas pada penjual siomay.
"Waah... Mas Bagas suka ngilang, terus nongol lagi. Kayak
hantu aja!" Penjual siomay itu bergurau.
Bagas cuma nyengir. Lalu duduk sambil menunggu pesanannya.
"Oh iya, Mas... tadi si Neng cantik itu juga ke sini
lho," ucap penjual siomay sambil memotong-motong siomay di atas piring.
"Dia makan siomay sendiri. Tapi dia jadi pendiam banget, seperti lagi
banyak pikiran."
Bagas yang sedang memainkan HP-nya, sontak mendongak. Jantungnya
langsung berdetak kencang. Apa yang dimaksud Chelsea?
"Siapa, Bang?" tanya Bagas memastikan.
"Ah, Mas Bagas pura-pura lupa. Ya cewek yang sering Mas Bagas
ajak ke sini. Kok datangnya nggak barengan? Kalian pasti lagi berantem
ya?"
"Jam berapa ke sininya?" tanya Bagas tanpa menghiraukan
pertanyaan penjual siomay itu.
Si penjual siomay mengerutkan keningnya. "Mungkin satu jam
yang lalu. Kalau mau dikejar juga udah telat, Mas. Dia ke sini bawa
mobil."
Bagas merutuki dirinya sendiri. Kalau saja dia datang lebih awal,
mungkin dia masih bisa bertemu Chelsea. Dan mungkin mereka bisa makan siomay
berdua.
Sudah tiga bulan Chelsea belum memberikan jawaban apapun pada
Bagas. Tetapi Bagas tidak akan menyerah. Mungkin... dia harus lebih bersabar
lagi...
***
Chelsea menghentikan mobilnya. Sore itu dia memutuskan ke pantai.
Setelah turun dari mobil, Chelsea berdiri sambil menatap keindahan pantai.
Chelsea memejamkan matanya sejenak. Menikmati hembusan angin
pantai yang sejuk di sore hari. Saat membuka mata, dia mulai berjalan mendekati
bibir pantai.
Sore itu pantai tidak terlalu ramai. Ada beberapa anak kecil yang
sedang bermain bola. Chelsea tertawa kecil melihat tingkah lucu dari anak-anak
yang bermain bola itu. Mengingatkan kenangan bersama Bagas dulu.
Chelsea kembali menatap laut luas di hadapannya. Warna birunya
memberi kesejukan dalam hati Chelsea. Lalu dia mengambil sesuatu dari saku
bajunya. Sebuah gelang berwarna biru, yang dia berikan pada Bagas dulu.
Chelsea menatap gelang itu sambil berpikir cukup lama. Meyakinkan
dirinya sendiri kalau keputusan yang akan diambilnya adalah keputusan yang
terbaik.
Setelah merasa yakin, Chelsea menekan tombol di ponselnya beberapa
kali sebelum akhirnya menempelkan ponsel itu di telinganya. Terdengar dua kali
nada sambung.
"Hallo...!" sapa seseorang di seberang tiba-tiba.
Hati Chelsea seperti akan mencelos mendengar suara itu. Jantungnya
mendadak berdebar kencang. "Bagas...?" ucapnya pelan.
"Iya, kenapa, Chel?"
"Apa... kita bisa... ketemu?" tanya Chelsea ragu-ragu.
"Di mana?"
"Mmm... di... pantai..."
"Sekarang lo berbalik ke belakang deh!" ujar Bagas dari
seberang.
Chelsea mengerutkan keningnya bingung. Maksud Bagas apa? Tapi
tanpa berpikir lama, Chelsea membalikkan badannya.
Mata Chelsea terbelalak. Saat ini Bagas sudah ada di hadapannya.
Hanya berjarak lima langkah dari tempat Chelsea berdiri. Apa ini mimpi?
Bagas tersenyum, lalu melepaskan ponselnya dari telinga. Dia mulai
berjalan mendekat ke arah Chelsea.
"Ada apa lo nyuruh gue ke sini?" tanya Bagas saat jarak
mereka tinggal satu langkah.
"Sejak kapan lo di sini?" Chelsea yang gugup, balik
tanya.
Bagas menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Mungkin...
setengah jam yang lalu. Gue cukup lama ngeliatin lo dari belakang. Apa lo nggak
bosan berdiri lama sendirian di sini?"
"Kenapa lo diam aja dari tadi?" Lagi-lagi, Chelsea
mengabaikan pertanyaan Bagas tadi.
"Gue nggak mau ganggu orang yang lagi mikir." Bagas
tersenyum jail.
Chelsea salah tingkah. "Mikir apa? Sok tahu lo!" Chelsea
kesal.
"Mikirin gue mungkin?" goda Bagas.
Pipi Chelsea langsung memerah. "Nggak. Ngapain juga gue
mikirin lo?" Chelsea berbohong.
Bagas tertawa kecil. "Miss Perfect itu nggak pintar bohong
lho," goda Bagas lagi.
Chelsea semakin kesal dengan Bagas yang terus menggodanya. Dia
berbalik untuk menyembunyikan pipinya yang sudah memerah.
Bagas berjalan satu langkah dan berdiri di samping Chelsea sembari
menatap pantai. "Kangen gue liat lo yang kesal sama gue gini. Bukan
Chelsea yang jadi pendiam seperti beberapa bulan belakangan ini."
Chelsea tidak menjawab.
"Jadi... ada apa lo tadi telepon gue dan meminta gue untuk ke
sini?" tanya Bagas lagi.
Chelsea menatap Bagas sebentar. "Mana tangan lo?"
Bagas menaikkan alis karena bingung. "Tangan? Buat apa?"
tanyanya polos.
"Udah, nurut aja! Mana tangan lo?" Chelsea terlihat
tidak sabar.
Meski masih bingung, Bagas mengangkat tangan kanannya di depan
Chelsea. Tanpa berkata apapun, Chelsea langsung saja memakaikan gelang warna
biru pada tangan Bagas. Gelang yang sejak tadi dipegangnya. Gelang milik Bagas
dulu.
Bagas menatap Chelsea tak percaya. Tapi kemudian dia tersenyum
bahagia. Hari ini Chelsea sudah memberikan jawabannya. Jawaban yang sudah dia
tunggu sejak tiga bulan yang lalu.
"Ini... artinya apa?" tanya Bagas menggoda sekaligus
memastikan.
Chelsea menunduk malu. "Apa masih perlu penjelasan
lagi?"
Bagas tertawa kecil. Diraihnya Chelsea ke dalam pelukannya.
"Makasih ya..."
Chelsea membalas pelukan Bagas. Mereka berpelukan dalam diam.
Masing-masing saling melepaskan kerinduan di antara mereka.
Tidak hanya Bagas, tapi Chelsea juga merasa bahagia. Dia sudah
yakin dengan keputusannya. Ini adalah yang terbaik. Chelsea sangat menyayangi
Bagas dan dia tidak bisa jauh dari Bagas. Dan Chelsea berharap Bagas selalu ada
di sisinya.
"Lo kangen banget ya sama gue? Sampai-sampai lo peluk gue
kencang banget," celetuk Bagas setelah lama mereka terdiam.
Chelsea melepaskan pelukannya, lalu menatap Bagas. "Maafin
gue ya, udah membuat lo menunggu lama. Dan... makasih karena lo mau bersabar
nungguin gue." Chelsea tersenyum.
Bagas menghela napas. "Lo nggak perlu minta maaf. Perasaan
itu nggak bisa dipaksa. Walaupun gue yakin perasaan lo ke gue nggak pernah
berubah, tapi... setelah kejadian waktu itu, gue tahu lo pasti butuh waktu
untuk berpikir. Apalagi cowoknya brengsek kayak gue."
Bagas tersenyum, mengaitkan jemarinya ke jemari Chelsea, lalu
mengangkatnya. Mereka sama-sama menatap gelang di tangan mereka. Gelang warna
pink di tangan Chelsea dan gelang warna biru di tangan Bagas. Lalu mereka
tertawa bersama.
"Dulu gue nggak menjaga gelang ini hingga gelang ini rusak.
Mulai sekarang... gue akan menjaganya baik-baik. Bukan hanya pada gelang ini,
tapi juga hubungan kita," ucap Bagas sungguh-sungguh.
Chelsea terharu mendengarnya. Matanya berkaca-kaca. Bukan air mata
kesedihan, melainkan kebahagiaan. Tapi masih ada satu hal yang mengganggu
pikiran Chelsea.
"Cindai... apa dia... baik-baik aja?" pertanyaan yang
menggangu Chelsea sejak tadi akhirnya keluar juga.
Bagas menghela napas. "Awalnya Cindai marah banget sama gue.
Dia nggak mau ketemu gue. Tapi setelah gue kasih penjelasan, dia akhirnya mau
mengerti. Orang tua Cindai pun nggak bisa memaksa. Dan mereka juga bisa
menerima keputusan gue."
"Kalau... orang tua lo?"
"Orang tua mana sih yang nggak marah dipermalukan anaknya
sendiri di depan umum?" Bagas menghela napas. "Mereka marah banget
sama gue, Chel. Terutama Papa. Dia sampai mengancam mencabut semua fasilitas
gue, mulai dari motor, atm, kartu kredit, sampai uang jajan gue." Bagas
tertawa kecil, seolah itu adalah lelucon baginya.
Tapi kebalikannya, wajah Chelsea berubah khawatir.
"Tapi untung ada Mama. Mama bisa menenangkan dan membantu
menjelaskan semuanya pada Papa. Dan meski butuh waktu lama, tapi sekarang Papa
bisa mengerti dan mau menerima keputusan gue. Malahan..." Bagas
menggantung ucapannya dan tersenyum jail.
"Apa?" Chelsea penasaran.
"Papa penasaran ingin bertemu sama gadis yang membuat
pertunangan anaknya batal, dan juga gadis yang membuat anaknya cinta mati sama
dia." Bagas menaik-turunkan alisnya.
Pipi Chelsea merona. "Apaan sih lo!" Chelsea memukul
pelan lengan Bagas.
"Gue serius, Chel. Papa mau ketemu sama lo. Mungkin... mau
nikahin kita kali!" kata Bagas asal.
"Masih jauh kali... udah ngomongin nikah!" kata Chelsea,
lalu menatap Bagas cemas. "Tapi... apa Papa lo galak?"
Bagas tersenyum. "Sedikit galak. Tapi gue yakin, kalau Papa
ketemu lo, dia pasti bisa luluh. Gue aja bisa luluh sama lo."
"Dasar gombal! Penyakit lo yang satu ini nggak sembuh-sembuh
ya?" Chelsea geleng-geleng kepala.
Bagas mengangkat tangannya, merapikan rambut Chelsea yang
berantakan tertiup angin. "Mau pulang atau mau nungguin sunset?"
"Nungguin sunset!" jawab Chelsea mantap.
Mereka berdua duduk di atas pasir pantai. Semburat jingga mulai
terlihat di langit. Matahari turun perlahan, hingga sampai di ujung pantai.
Membuat lukisan yang sangat indah.
Chelsea menyandarkan kepalanya di pundak Bagas. "I love
you..."
Bagas tersenyum sambil melirik Chelsea. "I love you,
too..."
"Bukan sama lo, tapi sama sunset-nya."
Chelsea tertawa.
Bagas merengut, lalu mengacak-acak rambut Chelsea. "Dasar!
Nggak mau ngaku ya?"
Setelah itu suasana hening. Mereka menatap takjub lukisan Tuhan
yang sangat indah. Sunset... yang
ikut menyaksikan kisah cinta mereka berdua.
Selesai
*******************************
Makasih buat yang udah baca...
Tinggalkan komentar,
kritik atau saran ya :)
wah bagus yaa
BalasHapus